Senin, 22 Juni 2009

PERAN ORANG TUA DAN GURU

Oleh : Hanief Prastiwi

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan bagi manusia merupkan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, suatau kelompok manusia tidak dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Untuk memajukan kehidupan mereka itulah, maka pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teorikal dan praktikal sepanjang waktu sesuai dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari adanya masalah, salah satunya adalah masalah yang dialami oleh peserta didik. Masalah pendidikan berasal dari berbagai sumber, diantaranya karena perbedaan inidividual. Kenyataan menunjukkna bahwa tidak ada dua individu yang sama persis di dalam aspek pribadinya baik aspek pisik maupun psikisnya.
Di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, sering tampak perbedaan individual tersebut. Misalnya ada peserta didik yang sangat lambat dalam belajar, namun ada pula peserta didik yang sangat cepat dalam belajar. Perbedaaan ini pula yang mengelompokkan mereka kepada anak yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, rata-rata dan kemampuan di atas rata-rata yang disebut anak supernormal.
Perbedaaan inividual tersebut sering menimbulkan maalah bagi peserta didik maupun lingkungannya, misal yang terjadi pada anak supernormal yang belajar di sekolah umum.Hal ini disebabkan karena pada umumnya program pendidikan direncanakan untuk memberikan materi-materi pelajaran atas dasar ukuran rata-rata (normal). Apabila anak supernormal tidak disediakan pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya yang khas, maka potensi yang mereka miliki kurang dapat diwujudkan.
Masalah belajar yang dialami oleh anak supernormal ini merupakan masalah penting yang perlu mendapat perhatian serius di kalangan para pendidik. Problem belajar yang dialami oleh anak supernormal yang belajar di sekolah umum ini akan berdampak negatif bagi siswa itu sendiri maupun lingkungannya. Disamping kita dapat kehilangan bibit-bibit unggul bagi perkembangan Indonesia, anak-anak tersebut dirugikan dan bahkan dapat menjadi anak bermasalah “under achiever” atau “drop out”.
Untuk mencegah dampak negatif yang mungkin timbul karena problem belajar yang dialami anak supernormal ini, maka pendidik (orang tua dan guru, dan guru pembimbing) harus waspada terhadap gejala-gejalanya. Dari uraian di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah belajar anak supernormal, landasan yang digunakan, serta solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
B. Masalah
Jumlah anak super (genius) yang mempunyai IQ di atas140 sebenarnya cukup banyak, di pulau Jawa jika diperhitungkan mencapai 2% dari 80 juta penduduk. Dapat dibayangkan untuk seluruh Indonesia tentu jauh lebih banyak. Namun, banyak orang tua yang kurang mengetahui tentang keadaan anaknya yang tergolong supernormal. Anak yang tergolong genius ini, umur 3 tahun sudah ingin belajar membaca dan menulis akan tetapi, orang tua yang tidak paham akan melarangnya. Demikian pula ketika mereka keahlian pada bidang tertentu, namun orang tua mereka memaksa untuk menututi kehendak orang tua, sehingga bakat yang mereka miliki tidak terwujudkan.
Dari pihak masyarakat pun masih banyak yang kurang memahami kehidupan golongan anak yang genius. Anak genius yang sering menunjukkan sikap eksentrik, egois, intoleren, sukar diterima oleh orang awam. Apabila sikap tersebut sukar diterima di masyarakat, maka anak akan mengalami kesulitan pergaulan dalam masyarakat. Padahal anak yang genius memiliki potensi yang bernilai tinggi.
Orang tua yang tidak memahami kelebihan anaknya, mereka akan menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Selain karena faktor ketidakpahaman orang tua akan kelebihan anaknya, ada juga orang tua yang sebenarnya sudah memahami keadaan anaknya tetapi mereka enggan menyekolahkakn anaknya di sekolah luar biasa. Hal ini dikarenakan karena ada asumsi bahwa menyekolahkan anak di sekolah luar biasa tentu membutuhkan biaya yang mahal.
Anak genius yang berkolah di sekolah umum akan mengalami problematika karena pada umumnya kegiatan belajar di sekolah selalu menggunakan ukuran normal dalam kecepatan belajar. Anak yang genius akan merasa bosan terhadap pelajaran karena merasa telah mengerti terlebih dahulu, tidak senang kepada gurunya yang memperlakukan dirinya sama dengan teman-teman sekelasnya. Ia ingin bergaul dengan teman yang umurnya lebih tua karena merasa telah seimbang kepandaiannya. Keunggulan yang mereka miliki tidak diperhatikan dan tidak mendapatkan pelayanan khusus mengakibatkan anak menjadi jemu sekolah, benci terhadap situasi yang menekan batinnya sehingga studinya menjadi kacau.

C. Landasan
Landasan yang digunakan untuk memecahkan masalah anak supernormal tersebut adalah:
1. Landasan Psikologis
Psikologi merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah laku klien yang perlu diubah atau dikembangkan apabila ia hendak mengatasi masalah yang dihadapinya atauningin mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya.
Kajian dalam bidang psikologi yang digunakan untuk keperluan bimbingan dan konseling adalah:
1) Motif dan motivasi
Motif adalah dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku sesuai dengan apa yang terkandung di dalam dorongan itu sendiri. Sedangkan motivasi adalah motif yang sedang aktif.
2) Pembawaan dan lingkungan
Keadaan pembawaan dan lingkungan seseorang dapat diketahui melalui penerapan instrumentasi konseling yang dilakukan oleh konselor.
3) Perkembangan individu
Konselor harus memahami kondisi berbagai aspek perkembangan individu pada saat pelayanan bimbingan dan konseling, serta dapat melihat arah perkembangan individu di masa depannya.
4) Belajar, balikan dan penguatan
Belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaaatkan apa yang sudah ada pada diri individu.
5) Kepribadian

2. Landasan Pedagogis
Pendidikan merupakan slah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial. Masyarakat senantiasa melakukan pendidikan dengan berbagai cara dan sarana untuk kelangsungan hidup mereka.
Pendidikan sebagai landasan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi:
1) Pendidikan sebagai upaya pengembangan individu. Bimbingan merupakan bentuk upaya pendidikan
2) Pendidikan sebagai inti proses bimbingan konseling.
3) Pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling.


D. Pembahasan
Dalam menyikapi permasalahan belajar anak supernormal diperlukan kerja sama baik dari pihak orang tua, guru dan masyarakat. Untuk itulah bimbingan dan konseling sangat diperlukan dalam pendidika . Perlunya usaha pelayanan bimbingan dan konseling ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor pendidikan dan faktor psikologis.
Pembahasan berikut ini akan mengemukakan dinamika faktor-faktor tersebut yang dikaitkan dengan landasan yang digunakan, sehingga pelayanan bimbingan dan konseling akan dapat menunjang tercapainya pendidikan yang diharapkan.
a. Psikologis
Dilihat dari segi psikologis, peserta didik adalah pribadi yang sedang berkembang menuju masa kedewasaannya. Proses perkembangan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya karena pembawaan (faktor dari dalam) dan lingkungan (faktor dari luar). Perkembangan anak dapat berhasil dengan baik dan optimal jika kedua faktor tersebut saling melengkapi, begitu juga terhadap anak supernormal.
Untuk mencapai perkembangan yang terarah dan optimal harus ada asuhan yang terarah yang disebut pengajaran. Oleh karena itu diperlukan bimbingan dan konseling untuk memberikan asuhan terhadap perkembangan pribadi peserta didik.
Perkembangan individu terjadi secara bertahap. Lebih lanjut, Havighurts menampilkan istilah tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan tersusun menurut pola tertentu dan saling berkaitan. Pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan dapat membantu peserta didik untuk mencapai tugas-tugas perkembangan itu dengan baik.
Di sekolah atau lembaga pendidikan yang lain, tampak masalah perbedaan inidividual, misalnya ada peserta yang didik yang lambat belajarnya, ada yang cepat belajarnya dan ada pula yang berbakat pada bidang tertentu. Oleh karena itu, hendaklah masalah ini menjadi perhatian dalam pelayanan pendidikan.
Perbedaan individu ini jelas membawa konsekuensi terhadap layanan pendidikan khususnya ang menyangkut masalah materi pelajaran, metode belajar, penilaian dan lain sebagainya. Peserta didik yang genius membutuhkan pengajaran tambahan dibanding anak yang lain. Sehingga guru dituntut untuk memahami kondisi peserta didiknya. Disinilah letak pentingnya pelayanan bimbingan dan konseling yaitu untuk membantu para peserta didik agar mereka berhasil dalam belajar.
Pada faktor psikologis ini juga meliputi kebutuhan, penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku. Dengan adanya pelayanan bimbingan dan konseling ini, peserta didik dapat mencapai tahap perkembangan yang optimal baik secara akademis maupun psikologis. Perkembangan optimal secara akademis bertujuan agar tiap peserta didik mencapai penyesuaian akademis dan prestasi belajar yang optimal. Perkembangan secar psikologis bertujuan agar tiap siswa dapat mencapai perkembangan yang ditandai dengan kematangan dan kesehatan mental.
b. Pendidikan
Pendidikan merupakan wahana yang utama untuk mencapai tujuan perkembangan manusia. Dalam menyikapi masalah belajar yang dialami oleh anak supernormal ini tidak terlepas dari adanya landasan pendidikan, karena masalah belajar berkaitan erat dengan pendidikan.
Bimbingan merupakan salah satu bentuk upaya pendidikan. Oleh karena itu, dalam pelayanan bimbingan dan konseling harus terkandung komponen-komponen berikut ini:
1) merupakan usaha sadar
2) menyiapkan peserta didik
3) untuk peranannya dimasa yang akan datang
Bimbingan-bimbingan yang diberikan kepada klien hendaknya dapat digunakan untuk mengembangkan diri klien untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri dan mampu mengembangkan diri tanpa bantuan pelayanan bimbingan dan konseling lagi.
Kesulitan dalam penyesuaian diri serta masalah-masalah yang dihadapi oleh anak supernormal dalam belajar ini jelas tidak mungkin dapat diselesaikan oleh para guru saja. karena waktu lebih banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, pada suatu lembaga pendidikan diperlukan bantuan melalui pelayanan bimbingan dan konseling yang dikelola oleh tenaga yang kompeten.

E. Solusi
Kerja sama antara orang tua, guru dan masyarakat sangat diperlukan dalam menyikapi permasalahan anak supernormal ini, diantaranya:
a) Orang Tua
1. Orang tua hendaknya mengetahui kondisi anaknya agar dapat mengarahkan anak mereka daam menyesuaikan diri di rumah, kemajuan belajar di sekolah serta pergaulannya di masyarakat.
2. umur mental anak supernormal lebih tinggi dari pada umur kalendernya. Maka jika anak senang berteman dengan anak yang lebih tua umurnya jangan dimarahi, karena dengan berteman dengan orang yang lebih tua darinya akan dapat mengembangkan intelektual dan sikap sosialnya.
3. menyediakan perpustakaan kecil di rumah sebagai penunjang kurikulum di sekolah serta menyediakan fasilitas yang dibutuhikan anak, misaolnya tempat belajar yang baik, kesempatan dan bahan untuk melakukan percobaan-percobaan, serta dukungan dan bimbingan.
4. orang tua wajib mengingatkan ketika anak terlampau terfokus pada satu kegiatan yang ia tekuni sehingga mengakibatkan kegiatan yang lain terlupakan. Ketika mengingatkan dan melaranmg hendaknya menggunakan bahasa yang halus disertai alasan yang jelas dan logis.
5. tidak menekan ataupun memberikan pujian yang berlebihan
b) Guru dan sekolah
1. memberikan pengayaan dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan.
2. mengadaklan priogram akselerasi (percepatan) dengan memperbolehkan naik kelas secara meloncat.
3. guru memberikan kesempatan kepada anak super untuk dapat mengembangkan bakatnya
4. guru memberikan bimbingan khusus kepadanya
c) Masyarakat
Masyarakat hendaknya bisa menerima tingkah laku anak super yang terkadang bersikap eksentrik, egois dan intoleren kepada yang lainnya.

F. PENUTUP
Setiap peserta didik mempunyai perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan individual itulah yang menimbulkan berbagai masalah. Untuk menyikapi permasalahan belajar yang dialami oleh anak supernormal, dibutuhkan kerja sama dari orang tua, guru, dan masyarakat. Demikian makalah ini saya sampaikan, semoga bermanfaat.


Penulis Adalah Mahasiswi Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta angkatan 2006

Tiga Isu Pendidikan Kritis

Oleh : Amich Alhumami

Sepanjang masa kampanye pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu tema paling digemari para calon presiden dalam orasi politik. Sayang, mereka tidak menyentuh problem mendasar pendidikan, bahkan pemahaman mereka atas isu pendidikan terkesan kurang mendalam. Mereka terjebak jargon-jargon populis dan retorika politik tanpa substansi.

Padahal, seyogianya mereka mendiskusikan isu-isu mutakhir yang lebih fundamental. Banyak isu kritis yang patut menjadi tema kajian. Dalam artikel ini hanya disajikan tiga isu sentral: i) peningkatan mutu, ii) pemerataan akses, dan iii) efisiensi anggaran.

Mutu pendidikan

Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, seperti dilaporkan Human Development Index (HDI). Laporan HDI tahun 2003 menunjukkan, Indonesia pada urutan ke-112 (0,682) dari 175 negara. Posisi ini jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 [0,888), Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768), dan Filipina ke-85 (0,751). Meski laporan HDI bukan hanya mengukur status pendidikan (tetapi juga ekonomi dan kesehatan), namun ia merupakan dokumen rujukan yang valid guna melihat tingkat kemajuan pembangunan pendidikan di suatu negara.

Isu mutu pendidikan terkait (i) kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, penilik), (ii) kurikulum pengajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) bahan ajar, (v) alat bantu pembelajaran, dan (vi) manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.

Namun, guru tetap merupakan faktor determinan dalam menentukan tinggi-rendahnya mutu pendidikan. Jumlah total guru sekitar 2,4 juta orang, sebagian besar berlatar belakang pendidikan SLTA dan D3 untuk jenjang TK-SD-SMP, dan sebagian kecil tamatan S1 untuk jenjang SM. Tentu saja ini berpengaruh pada kemampuan mengajar, yang diukur dengan penguasaan materi pelajaran dan metodologi pengajaran.

Selain itu, banyak guru yang mengajar di luar bidang keahliannya, yang secara teknis disebut mismatch. Contoh ekstrem, guru sejarah mengajar matematika dan IPA, yang terutama banyak dijumpai di madrasah (MI, MTs, MA). Guru mismatch ini jelas tidak mempunyai kompetensi untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya sehingga dapat menurunkan mutu aktivitas pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu guru mutlak dilakukan yang bisa ditempuh melalui program sertifikasi dan penyetaraan D3 dan S1 menurut bidang studi yang relevan. Namun, upaya ini harus disertai pula dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian insentif. Ini sangat penting agar motivasi guru dalam mengajar makin kuat dan semangat pengabdian dalam menjalankan tugas mulia sebagai pendidik kian bergelora.

Pemerataan akses

Pemerataan pendidikan merupakan isu paling kritis karena berkait erat dengan isu sensitif, yakni keadilan dalam memperoleh akses pendidikan. Memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak asasi setiap warga bangsa yang dijamin konstitusi. Maka, pemerintah wajib memberi pelayanan pendidikan yang baik kepada seluruh masyarakat. Keberhasilan pelayanan pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, angka partisipasi murni (APM) pada jenjang SD, SMP, dan SMA berturut-turut adalah 92,6 persen, 63,5 persen, dan 40,6 persen. Meski APM pada jenjang SD sudah cukup tinggi, pada jenjang lanjutan (SMP dan SMA) angka yang dicapai masih rendah. Bila angka-angka itu dielaborasi berdasar kategori desa-kota, status sosial-ekonomi (kaya-miskin), dan provinsi (Jawa-luar Jawa), akan ditemukan fakta disparitas yang amat mencolok. Sebagai contoh, APM pada jenjang SLTP dan SLTA di perkotaan, masing-masing mencapai 71,9 persen dan 56,1 persen; sementara di pedesaan baru mencapai 54,1 persen dan 28,7 persen.

Juga ada perbedaan amat signifikan APM SLTP pada kelompok masyarakat kaya dan miskin, masing-masing 72,3 persen dan 49,9 persen. Fakta disparitas ini juga dijumpai di provinsi-provinsi Jawa-luar Jawa. APM SLTP di DI Yogyakarta 78 persen, sementara di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Bangka-Belitung, Papua, dan Gorontalo kurang dari 50 persen. Bahkan di NTT masih di bawah 40 persen. Kenyataan disparitas itulah bisa menjadi justifikasi guna melakukan ekspansi program pendidikan secara lebih merata.

Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan affirative action amat relevan diterapkan guna mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan antardaerah dan antarkelompok masyarakat.

Efisiensi anggaran

Rendahnya alokasi anggaran pendidikan selalu mengemuka dalam perdebatan publik. Banyak pihak menuntut agar alokasi anggaran pendidikan dinaikkan guna mencapai tujuan (1) meningkatkan mutu dan (2) memperluas akses (pemerataan). Pemerintah telah memberi komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap agar mencapai 20 persen dari APBN.

Namun, kenaikan anggaran tidak akan berarti bila tidak disertai upaya efisiensi. Isu efisiensi menyangkut cara memanfaatkan dana yang ada untuk membiayai berbagai program dan jenis kegiatan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kita harus mampu membuat skala prioritas dan menentukan program utama agar sasaran yang telah ditetapkan bisa tercapai. Maka, disiplin dalam penggunaan anggaran menjadi amat penting guna menghindari penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukannya. Hanya dengan disiplin anggaran yang dilakukan secara ketat, misalokasi dapat dicegah.

Memahami efisiensi anggaran harus diletakkan dalam konteks organisasi penyelenggara pendidikan. Struktur organisasi Departemen Pendidikan Nasional yang besar dengan jumlah personel amat banyak jelas menuntut pembiayaan yang besar pula. Untuk itu, hal penting yang patut diperhatikan adalah bagaimana beban biaya dalam mengoperasikan organisasi raksasa ini jangan sampai menyedot anggaran yang besar.

Biaya operasional organisasi pendidikan harus ditekan seminimal mungkin sehingga dana yang ada dapat disalurkan langsung ke pihak-pihak penerima yang berhak, yaitu sekolah/universitas dan siswa/mahasiswa. Bila anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk mengongkosi organisasi, ini merupakan salah satu bentuk inefisiensi. Karena itu, tuntutan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen harus diikuti upaya efisiensi, dengan menetapkan target dan sasaran secara benar dan mengevaluasi pos-pos anggaran yang menjadi sumber inefisiensi.

Inilah tiga isu sentral pendidikan yang harus menjadi fokus perhatian bagi para capres yang kini sedang berlaga dalam pemilu presidensial. Peningkatan mutu pendidikan amat penting guna melahirkan lulusan yang berkualitas dengan standar kompetensi tinggi sehingga siap menghadapi kompetisi global. Pemerataan pendidikan amat kritikal untuk menjamin keadilan, terutama bagi masyarakat miskin dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Efisiensi anggaran harus dilakukan guna memastikan pemanfaatan dana secara benar untuk menghindari misalokasi, salah sasaran, dan kebocoran. (Sumber : WordPress.com)( http://www.indonesiaontime.com/humaniora/pendidikan/17-pendidikan/9
89-tiga-isu-pendidikan-kritis.html)

*) Penulis adalah Peneliti Sosial, Bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas, Jakarta

ISU PENDIDIKAN

Oleh : Mike Prastiwi *)

A. Tujuan Pendidikan di Indonesia
Pelaksanakan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pada dasarnya pendidikan di Indonesia ditujukan untuk kepentingan bangsa Indonesia.


Tujuan pendidikan mengandung gambaran tentang nilai-nilai yang baik dan luhur (Tirtaraharja, 2005:37). Tujuannya seperti yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu: (1) membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum/bersama, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial (Organisasi. Org Komunitas & Perpustakaan Online Indonesia, 2006).

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Guru-guru saat ini kurang kompeten, banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan menurun mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun (Lhany, 2009).
Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain. Substansi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya adalah memanusiakan manusia. Ini menunjukan bahwa para pakar pun menilai bahwa pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek kognitif saja tapi cakupannya harus lebih luas.
Pendidikan di Indonesia saat ini sangat kurang memperhatikan aspek afektif (merasa), sehingga peserta didik hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah sekian tahun Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual. Tapi tak kuasa mengubah nasib bangsa ini. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini.
Sarana fisik pendidikan turut menjadi faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang layak dapat memenuhi aspek afektif. (Kastrat KM, 2008).
Kondisi sarana fisik pendidikan di Indonesia saat masih jauh dari kata layak, sehingga mempengaruhi semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah (Lhany, 2009).

C. Dampak Rendahnya Sarana Fisik Terhadap Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung dari kualitas guru juga harus ditunjang dengan sarana fisik yang memadai. Tapi sayangnya, hingga sekarang ini sarana fisik pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang memadai, seperti bangunan sekolah, fasiltas laboratorium dan sebagainya. Sarana fisik ini padahal sangat vital dalam kegiatan proses belajar mengajar (Elisabeth S, 2003).
Kenyataan di lapangan banyak sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak (karena kondisi bangunan sudah tua atau karena kurangnya perhatian dari pemerintah). Contohnya pada tanggal 2 Februari 2009 sebuah kelas di Sekolah Dasar Karya Bakti, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, roboh. Peristiwa robohnya bangunan kelas ini terjadi pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung (liputan6.com). Tanggal 11 Maret 2009 terjadi penarikan bangku oleh perajin dari SD di Bululawang karena pihak perajin belum memerima uang pembayaran dari pemerintah selama tiga tahun, sejak 2006 (Berita Pendidikan.com).
Kerusakan bangunan sekolah dan kurangnya sarana pendidikan akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang anak akan merasa tidak nyaman dalam belajar. Sebaliknya jika sarana pendidikan memadai maka peserta didik akan merasa nyaman dalam belajar, dapat meningkatkan semangat belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar (Lhani, 2009).

D. Solusi dari Permasalahan Kualitas Pendidikan di Indonesia Karena Rendahnya Sarana Fisik
Berdasarkan penjabaran di atas permasalahan pendidikan, dikarenakan terbatasnya anggaran yang dialokasi untuk sektor pendidikan itu sendiri, hingga menyebabkan biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah pendidikan menjadi tidak sebanding dengan kenyataan yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah hendaknya lebih memperhatikan biaya operasional untuk peningkatan sarana dan prasarana pendidikan.
Pemerintah menjadi fasilitator utama bersama masyarakat yang mampu (melalui regulasi ketentuan hukum untuk partisipasi aktif pada sektor pendidikan), sehingga mampu merealisasikan anggaran 20% APBN/APBD di sektor pendidikan secara nyata. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan serta mampu menyelamatkan masa depan anak bangsa.
Secara global solusi yang diberikan untuk mengatasi permasalahan kualitas pendidikan di Indonesia karena rendahnya sarana fisik, ada 2 cara yaitu:
Pertama, meningkatkan efisiensi dalam bidang pendidikan dengan cara memenuhi kebutuhan bahan bacaan yang bermutu, dan menyediakan laboratorium bagi seluruh peserta didik yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kedua, untuk meningkatkan efektivitas pendidikan dengan cara sistem yang redundant (berulang-ulang). Dengan kata lain apa yang diajarkan oleh guru di kelas perlu dipertajam dan diperdalam melalui bacaan di media cetak, program audio-visual (TV) dan audio (radio) (Mizan, 1994).
*) Penulis adalah
Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika Universitas Negeri Malang

BEM TARBIYAH



Jadilah khalifah di muka bumi yang patut untuk di contoh dan di jadikan panutan umat di mana kita sebagai umat manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang di ciptakan oleh-NYA. Dan jadikanlah STAIN SURAKARTA sebagai wadah dalam membangun peradaban pendidikan yang islami yang punya integritas dan pantang mundur menghadapi rintangan dalam menegakkan agama Allah Ta'ala di muka bumi Indonesia tercinta ini.
Belum hilang dari ingatan kita kebiadaban kaum Zionis memporak-porandakan Palestina, Irak, Afganistan, dan negara-negara Muslim lainnya yang masih taat kepada syariat agama Allah. Dengan itu kami Mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIN SURAKARTA bertekat untuk terus menegakkan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH, dan berkepal tangan dan maju kemuka memperjuangkan kemaslahatan umat muslim di seantero jagat raya ini.