Rabu, 30 Desember 2009

K.H. Ahmad Dahlan Rahimahullah


Pelopor Islamisasi dan Modernisasi Pendidikan*)

Salah satu tokoh penting pendidikan yang dimiliki negeri ini adalah KH Ahmad Dahlan. Beliau lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 M dari pasangan KH. Abu Bakar dan Siti Aminah dengan nama Muhammad Darwis. Ayah beliau adalah seorang khatib Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Apabila dilacak, silsilah ayah beliau sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan ibunya adalah putri KH. Ibrahim penghulu kesultanan Yogyakarta.
Di masyarakat Kauman ada pendapat umum bahwa barang siapa yang memasuki sekolah Belanda dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan dididik Al Qur’an dan ilmu dasar-dasar agama oleh ayahnya sendiri di rumahnya. Selanjutnya ia melanjutkan belajar ilmu-ilmu agama kepada beberapa Kyai di kesultanan Yogyakarta.
Beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Siti Walidah beliau menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Setelah itu beliau bersilaturahmi dan mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional kepada ulama-ulama di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas, Imam Nawawi Banten dan lainnya (rahimahumullah). Sedangkan semangat pembaharuan dan modernisasi Islam beliau dapat dari ulama-ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan sebagainya (rahimahumullah). Nama Haji Ahmad Dahlan beliau dapatkan dari Syaikh Bakri Syata’ seorang ulama madzhab Syafi’iyah di Makkah. Sepulang dari Mekkah dengan bergantinya nama dan bertambahnya ilmu beliau diberi amanat untuk mengajarkan agama di Yogyakarta dan kemudian beliau mendapat sebutan KH Ahmad Dahlan.
Modernisasi Pendidikan Islam
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia pada masa KHA Dahlan, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan barat. Pendidikan pesantren mengajarkan studi keislaman tradisional, seperti ilmu kalam, ilmu fiqih, tasawuf, bahasa arab dengan berbagai variasinya, ilmu tafsir, hadis dan lain-lain. Proses belajar mengajar yang digunakan pun juga masih tradisional sehingga banyak alumninya yang memiliki pola pikir menjauh dari perkembangan modern.
Ada problem mendasar dari pendidikan model pesantren ini. Selain masalah sistem belajar mengajar, kurikulum dan materi pelajaran yang tradisional juga diperparah dengan tidak adanya iklim demokratis di dalamnya sehingga guru dianggap selalu benar dan tidak boleh dikritisi. Selain itu, fasilitas-fasilitas modern yang sebenarnya baik tidak boleh digunakan karena dianggap menyamai orang kafir. Ilmu-ilmu modern yang berasal dari barat pun juga tidak diajarkan karena dianggap bukan ilmu islam sehingga haram bagi orang muslim untuk mempelajarinya.
Sementara itu, pendidikan yang disebut kedua hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di barat. Pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda ini pun sudah menggunakan segala hal yang disebut modern. Baik itu metode, fasilitas dan lain sebagainya sudah modern. Ilmu yang diajarkan pun tidak ada yang diajarkan di pesantren. Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda ini menerapkan sistem sekuler yang meniadakan pelajaran agama dan nilai-nilai agama dalam setiap pelajaran. Sehingga pada akhirnya melahirkan golongan baru yang disebut golongan intelek yang umumnya anti Islam. Bahkan alumni sekolah-sekolah ini umumnya menjadi antek-antek Belanda.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong KHA Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan dua karakter dan dua model pendidikan di atas. Yang mengajarkan semangat islam dan semangat modern. Dengan demikian umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentag Islam tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.
Islamisasi Pendidikan Nasional
Bahwa kita semua telah mafhum kalau yang menjadi tekanan utama Ki Hajar Dewantara (KHD) dan Perguruan Tamansiswanya dalam masalah pendidikan hanyalah masalah kebangsaan dan cinta tanah air. Sedangkan masalah agama tidak pernah menjadi perhatian utama. Darinya memang lahir orang-orang yang mau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Rasa nasionalisme mereka tinggi tapi rasa keagamaan mereka (terutama yang muslim) tidak terbangkitkan sama sekali. Di sini jelas KHD lebih memilih “ideologi pendidikan sekuler” untuk perguruan yang didirikannya. Dan inilah yang secara eksplisit pula dijadikan dasar ideologis penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada masa-masa berikutnya sampai sekarang.
Ideologi nasionalis memang lebih diberi tempat oleh masyarakat negara kita. Sehingga kalau ada tokoh lain yang sebanding (bahkan lebih hebat) yang berideologi selain itu tidak akan dianggap penting. Dalam masalah pendidikan ini ada tokoh lain yang sebenarnya tidak kalah dengan KHD dalam kiprahnya di dunia pendidikan, dialah KH Ahmad Dahlan rahimahullah. KHA Dahlan memang tidak secara khusus memfokuskan gerakannya di bidang penddidikan. Namun perhatiannya terhadap masalah pedidikan di negeri ini sungguh luar biasa.
Saat beliau mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 1912, salah satu gerakan serius yang beliau kerjakan adalah mendirikan Sekolah Guru Muhammadiyah (Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah). Dengan mendirikan sekolah ini KHA Dahlan ingin para alumninya menyebar dan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat. Sehingga dalam waktu singkat sekolah-sekolah Muhammadiyah dapat berdiri di seluruh pelosok Nusantara. Bahkan di pelosok-pelosok yang belum pernah terjamah oleh pemerintah pun sekolah Muhammadiyah sudah hadir lebih dahulu. Saat ini jumlah sekolah yang dimiliki Muhammadiyah melebihi jumlah sekolah yang dimiliki pemerintah. Baik dari tingkat dasar, menengah, hingga sampai tingkat perguruan tinggi.
Memang pada kenyataannya saat ini KHA Dahlan bukanlah ikon penting bagi pendidikan Indonesia. Bukan berarti harus menjadikan tanggal lahir beliau sebagai hari pendidikan tapi lebih pada menjadikan pikiran-pikiran KHA Dahlan sebagai rujukan dalam membangun pendidikan di Indonesia. Karena kontribusi beliau bagi perkembangan pendidikan di Indonesia sangatlah nyata dan dapat kita rasakan bersama.
Hal ini tidak lain karena Ahmad Dahlan adalah seorang “Kiai”, seorang aktivis pendidikan yang kental dengan nilai-nilai keIslamannya. Saat mendirikan lembaga pendidikan pun niat utama beliau adalah berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah yang lurus dan benar. Tanpa semangat dakwah ini mustahil beliau rela kehilangan kekayaannya untuk mendirikan sekolah-sekolah sampai daerah-daerah terpencil.
Semangat dakwah adalah semangat Islam. Sehingga dalam setiap jenjang pendidikan yang beliau dirikan tidak pernah beliau lupa menyisipkan nilai-nilai keagamaan (Islam) yang saat itu sangat tabu diajarkan di sekolah. Saat itu dikenal sekolah-sekolah HIS met Koran (SD Al Qur’an), MULO met Koran dan sebagainya sebagai usaha dakwah KHA Dahlan. Pada kemudian hari sekolah-sekolah tersebut dikenal dengan sekolah Muhammadiyah.
Karena itulah KHA Dahlan akhirnya dianggap sebagai tokoh yang “sektarian” dan bukan tokoh nasionalis. Inilah yang menjadikan KHA Dahlan tidak lebih berpengaruh dibandingkan dengan KHD. Mungkin banyak orang lupa bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Saat KHA Dahlan hidup umat muslim secara statistik melewati angka 90 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Sehingga jika KHA Dahlan berjuang untuk umat islam berarti beliau telah berjuang untuk lebih dari 90 persen rakyat Indonesia.
Apa yang dirintis oleh KHA Dahlan ini sesungguhnya manfaatnya telah dirasakan oleh lebih banyak rakyat Indonesia dibandingkan dengan apa yang dilakukan KHD. Perbandingan paling kasat mata dapat dilihat dari jumlah sekolah di bawah perguruan Muhammadiyah dengan jumlah sekolah dibawah naungan perguruan Tamansiswa. Perbedaan yang sungguh mencolok.
Diakui atau tidak apa yang telah dirintis dan ditinggalkan KHA Dahlan utamanya berupa lembaga pendidikan akhir-akhir ini telah dikelola secara menyimpang dari semangat beliau. Kalau dulu lembaga pendidikan Muhammadiyah didirikan untuk membantu rakyat kecil yang tidak bisa memasuki lembaga pendidikan pemerintah maka saat ini beberapa lembaga pendidikan Muhammadiyah justru sulit bahkan mustahil untuk dimasuki golongan menengah ke bawah dan cenderung menjadi “ladang bisnis” bagi elit-elit lembaga tersebut. Mungkin mereka lupa bahwa KHA Dahlan pernah berpesan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan engkau mencari penghidupan di Muhammadiyah.” Wallahul Musta’an. *) Ditulis oleh Muhammad Nasri Dini, Ketua Bidang Pendidikan dan Penalaran (P&P) BEM Tarbiyah periode 2009-2010

SAHABAT KECILKU,TERIMAKASIH.....

Cerpen: Naning Sri Handayani
Pagi hari yang cerah itu,mentari begitu semangatnya menampakkan senyum. Mengajak setiap jiwa tuk mengawali paginya dengan indah. Ku pandangi ufuk timur yang begitu merekah menawan hati. ku berikan senyum kecil padanya. Di pagi yang indah itu, seperti biasa aku berada di depan rumah di teras tepatnya. Sembari ku pandangi ramainya kicau burung. Pikiranku jauh menerawang, teringat akan sahabat kecilku.. Sahabat yang baru ku kenal di antara kepingan-kepingan jalan Allah. Sahabat yang datang mengisi hari-hariku,yang di kirim oleh Allah. Meski terbilang baru mengenalnya, namun ku rasakan sesuatu yang beda. Seakan nurani sesalu berbisik dalam hati, meyakinkan bahwa dia adalah sosok sahabat lama yang tlah dicari selama ini.
Tiba-tiba seorang pemuda berkulit sawo matang, mengenakan baju batiknaya yang terkesan jawa tulen datang menghampiriku. Memecahkan semua lamunanku. Pemuda itu memberikan sebuah kotak mungil yang terbungkus rapi. Kemudian pemuda itu pergi, tanpa berucap sepatah kata apapun. Dengan wajah keheranan bercampur binggung aku terima bungkusan kotak itu. Tanpa pikir panjang segera ku bawa masuk dalam kamar bungkusan itu. Dan segera ku buka satu-persatu kotak mungil yang terbalut bungkus warna ungu. Warna favoriteku sejak dulu. Mulai ku buka satu-persatu bungkus itu. Dan setiap lapis bungkus terserbit pesan mutiara yang indah.
Terakhir dari bungkus itu ku dapati kata-kata seperti ini ”Baca Bismillah dulu sebelum membuka, it is dangerous” Dan setelah ku buka kotak itu ternyata......ternyata berisi sebuah lukisan mungil. Lukisan dari tangan seorang yang sangat tulus. Lukisan mungil berfigura ungu. Sungguh saat itu bibirku tak mampu berucap sepatah katapun. Hanya air mata yang berbicara, membasahi kedua bola mataku. Wujud dari kebahagiaanku. Setelah ku baca bait demi bait kata-kata yang terangkai indah, yang merupakan ungkapan tulus dari hati dan benar adanya. Air mataku tak dapat berhenti, mengalir menganak sungai. Setelah ku sadari bahwa di sisi kiri dari lukisan itu ada gadis kecil berjilbab lebar dan berkaca mata. Dan taukah siapa sosoknya???? dia adalah diriku, sahabat kecilnya. Semakin deras aliran bening dari dua kelopak mataku ini. Seakan banjir tak terbendung. Jauh dalam relung hatiku tersimpan pertanyaan besar. Siapa gerangan yang mengirim ini semua??
Setelah ku baca di akhir suratnya, tertulis sebuah kata yang menggambarkan sosoknya. Yah dia adalah sahabat kecilku yang baru ku temukan.. Hemm....aku menghela nafas lega. Namun tak sampai disitu. Pada bagian akhir dia sampaikan sebuah pesan untukku. Begini isinya
“Ukhty.......
Engkaulah cermin kesederhanaan, kesahajaan dan kemulyaan akhlaq. Dari keteduhan jiwamu.......
Ku menangkap dalam relung hatimu.. Tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Tetap istiqomah
Di jalan_Nya Ukhty.....”
Lagi-lagi mulutku dibuatnya ngilu, tak sepatah kata yang bisa terucap, selain tetesan yang mengalir menganak sungai membasahi pipiku. Sungguh indah bila bertemu dan berpisah dengan sahabat karena Allah. Meski jauh namun Akan tetap ada dalam tiap lantunan daonya. Karena sahabat itu...
“Sahabat itu bukan yang harus selalu bersama. Namun sahabat adalah yang bila kita mengenangnya kita akan merasa myanam dan tenang. Dan sahabat dalah yang selalu ada dalam hati, yang menyertakanya dalam tiap lantunan doanya”Aku sayang kamu karena Allah sahabat kecilku.....thank to All......

Kamis, 01 Oktober 2009



Cerpen Sri Lestari
(staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

“Nduk…! Leren wae ning ngiyupan, ojo ngoyo!!” Suara sejuk mengalir di dendang telingaku. Aku masih berada di posisiku mengayunkan pacul di hutan nan gundul. Hutan yang bertanah keras saat kemarau. Musim ketigo kata bapak. Tanah yang tak lagi berpenghuni jati atau mahoni. Tanah itu sudah tidak menjadi tempat yang nyaman bagi binatang-binatang buruan. Yang ada tinggal tunggak-tunggak yang kian hitam karena lapuk dan ditumbuhi jamur-jamur kuping. Gerumbul ilalang bergoyang nakal dan menari saat sang bayu mendenguskan nafasnya. “Injih Pak...” sahutku melegakan bapak.
Dampak ilegal logging-istilah keren yang juga baru santer terdengar di era kini- aku dan bapak ikut-ikutan menyulap hutan yang dulu lebat itu menjadi ladang pangan. Sekali lagi bukan! Bukan niat kami untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang berstatus komoditas negara ini. Kami hanyalah masyarakat kelas teri yang tak berpunya apa-apa. Semua berawal dari niat kami membungkam rintihan perut lapar keluarga kami. Itupun atas maklumat Pak Lurah akan urgensi pelestarian linkungan hidup dengan upaya reboisasi. Ah, aku tah tahulah. Waktu itu aku tak paham. “Pak Lurah terlalu intelek!” batinku.
Sang surya sudah setinggi bayang-bayangnya dan aku masih terus bertahan. Tak ngaruh dengan lelehan keringat yang semakin mengucur. Sesekali ku usap juga buliran peluh itu dengan kaos oblongku. Biarlah orang menganggap apa. Ngomong bagaimana aku tak menggubris. Pokoknya aku harus bekerja dan terus bekerja. Aku tak berpikir neko-neko. “Tapi kamu itu perempuan, Tegar!”, celoteh Parmi teman ngajiku. Ah, biarlah! Semua orang boleh berkata apa saja. Mereka berujar demikian karena memerhatikan aku dan itulah bukti perhatian mereka padaku. “Seorang akhwat alangkah baiknya apabila memusatkan kegiatan di rumah”, tausiyah Ustadzah Aisya waktu ngisi ngaji di surau dekat sungai Kalisari di desa sebelah.
Ya Allah… Salahkah aku?! Apakah tak pantas kaum hawa sepertiku bekerja sekeras ini?! Bapak hanya miliki aku. Haruskah aku bertopangdagu di atas punggung beliau yang terbakar?! Aku tak mau menjadi beban dalam hidup dan kehidupan beliau. Tidak! Aku tak ingin seperti itu. Ku lihat lelaki tua berpostur kurus di sampingku yang sedari tadi tak berpetuah apa-apa. Khas wangi aroma tengwe. Lintingan tembakau plus cengkeh yang kata bapak adalah permennya orang sepuh agar betah bekerja. Bapak, aku bangga mempunyai pahlawan sepertimu. Engkau sungguh nerimo meski aku belum paham betul apa di balik guratan wajah tuamu tersirat asa dan harap. Doakan anakmu, pak..!
Paklik…! Suara Kang Paiman dari arah pematang tebu milik Pakde Mamat. Wates-perbatasan- ladang garapan bapak dengan beliau. Kang Paiman menurunkan sebongkok rumput yang bertengger di pundaknya ke bawah pohon pisang raja. Pohon pisang yang digunakan bapak menjemur bajunya yang basah akibat derasnya keringat siang itu. “Weleh weleh.. sekmene ambane wis rampung tha, pakde?”. “Alhamdulillah, Man. Direwangi anak wedok.” Lirik bapak padaku. Dadaku beribu lapang, senang dan haru. Bukan karena kebanggaan. Aku hanya tidak sanggup jika harus melihat punggung yang tidak berbalut baju itu semakin kelam oleh lidah matahari yang menjilat bumi. Bahkan bumi semakin panas saja karena sumber oksigen dilalap habis manusia-manusia serakah. Yang semakin hari ulah mereka semakin menyebabkan pemanasan global dewasa ini.
***
Kilatan petir yang menyambar dari jendela kamar membuyarkanku dari konsentrasi panjang lima tahun yang lalu. Hujan sore ini lebih deras dibandingkan hujan-hujan yang biasanya turun di musim hujan ini. Aku masih mematung di atas kursi ikhtiarku. Di depan monitor komputer. Jemariku masih menari teratur menguntai kata yang membentuk tulisan yang sarat makna. Udara senja pun ikut bergumul di ruangan ini. Ku seruput kembali panasnya kopi susu yang sedari tadi menemaniku di sini. Aku yang sedang menyelesaikan tugas akhir studiku di kota metropolitan ini.
Bingkai foto bapak di meja belajarku tersenyum bijak. Mungkin heran bahkan akan berdehem-dehem melihatku sendiri di ruangan ini. Ruang yang tak berilalang seperti dulu. Ruang yang penuh sawang di langit-langitnya. Satu dua sarang laba-laba di pojok usuk. Bahkan debu-debu tebal menempel alami bak cat di susuna dinding gedhek karya bapak. Teot..teot..Nyanyian katak yang tengah memadu kasih menemaniku sebagain pangganti radio. Krik-krik jangkrik yang suka cita. Semua yang tak terdengar disini adalah kenangan yang terlalu indah untuk ku lupakan.
Allahu Akbar… Ku lemaskan jemari lentikku. Ku lihat buku-buku tebal yang tersusun rapi di almari belajarku. Almari yang ku beli saat aku dapat beasiswa cum laude semester tiga lalu. Semua mengukir senyum padaku. Hukum, Tata Negara, Politik dan seabrek lainya. Yach…aku mengeliat seperti seorang lansia yang sedang senam pagi. Sedikit kaku karena sudah berjam-jam aku di sini. Aku tersenyum. Senyum yang tetap sama dengan senyumanku bersama ilalang dulu. Terima kasih, Tuhan.
Dari jendela kamar ku lihat hujan belum juga reda. Malah semakin deras. Angin berlalu kencang. Sesekali kilatan petir menyambar-nyambar bagai lampu di gedung bioskop ketika film mulai diputar. “Bapak”, aku teringat bapak. Waktu itu aku dan bapak bersama hujan dan petir seperti senja ini masih glidik di tegalan kang Paiman hingga surup. Basah kuyup baju-baju kumal kami. Dan meskipun tangan dan kaki kami masih menggigil kami tetap memanen jagung yang telah menguning itu. Aku senang meskipun jagung-jagung itu bukan milik bapak. Tapi hasil panennya akan berubah menjadi koin-koin dan lembaran lembaran uang yang akan masuk dalam celengan bambuku.
Ya Allah lindungi bapak…Di manakah beliau saat ini? Di hutan atau di sawahkah? Ups, sawah? Bukannya sepatok sawah bapak satu-satunya peninggalan simbah sudah jadi milik Suratni, adik kang Paiman yang sukses setelah merantau di Malaysia. Semua karena aku. Karena impian dan asaku. Puncaknya ketika namaku terpampang jelas di papa pengumuman balai desa 5 tahun yang lalu. Bahwa aku diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sekali lagi maafkan aku, pak…Akulah yang merubah bapak tidak lagi menjadi petani tetapi sebagai buruh kasar di hutan dan sawah. Terdalam dari itu semua, aku ingin membahagiakan bapak.
“Nduk, dadio wong pinter lan bener. Ojo keminter lan keblinger yo, ngger!! Mugo-mugo panjalukmu didijabahi.” Amin.. Terimakasih, pak… Ku ingat kata-kata simple beliau saat kucium tangan tuanya saat berangkat ke kota ini.
Kakiku melangkah mendekati tepi jendela. Ku lihat pohon mangga samping kosku terombang-ambingkan angin. Hujan makin deras menjadikan orang tak nampak lagi berlalu-lalang berebutan jalan. Hanya satu dua pengendara motor yang tertutup jas hujan dengan kecepatan di bawah standar. Mungkin mereka takut sapaan petir di penghujung magrib ini.
Tok-tok... “Mbak tegar! Mbak…” Ketukan pintu itu dari balik pintu kamarku diikuti munculnya dik Imah, mahasiswa semester satu Fakultas Kedokteran yang memanggilku. “Ada apa, dik?”, “Ada tamu, mbak”. “ Siapa?”, tanyaku penuh penasaran. “Hujan-hujan gini siapa yan?”, gumamku sambil bergegas keluar setelah kututup file skripsiku.
“Mbak Tegar, Alhamdulillah buku ‘Global Warming’ yang terbit bulan kemarin menjadi best seller di seantero Indonesia”, tutur Pak Burhan manajer penerbitan yang menangani buku-bukuku. Air mataku meleleh seketika itu. Akupun langsung tersungkur sujud, Alhamdulillah…Tiap bait doaku dan doa bapak dikabulkanNya. Kegembiraan ini tak bisa terlukiskan dengan kata.

TARBIYYAH NABAWI



Oleh : Eko Setyawan

Al Qur’an al Karim adalah kitabullah yang diturunkan salah satunya berdasarkan tempat dan kejadian yang muncul. Karena Al Qur’an adalah kitab pembangunan dan pendidikan. Al Qur’an datang dengan membawa manhaj-manhaj kehidupan dan pendidikan yang sempurna untuk membentuk jiwa, membangun umat dan menegakkan masyarakat. Kesan yang ditinggalkannya di dalam jiwa manusia tidak seperti kesan yang ditinggalkan oleh pendidikan yang berdasarkan berbagai eksperimen dan peristiwa, yang mana hati manusia begitu terbuka untuk diarahkan dan jiwanya akan tetap siap untuk sebuah pembentukan karakter dan kepribadian kearah positif. Dengan pendidikan yang selalu didasarkan pada koridor-koridor Islam akan membawa kemanfaatan masa sekarang ini dan masa yang akan datang. Sebagai contoh suksesnya tarbiyah (baca: pendidikan) yang dilaksanakan Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam dengan sekian banyak materi baik dalam membentuk materi akidah, fiqh maupun strategi perang yang diajarkan dengan praktik secara langsung dan materi-materi keislaman yang lainnya. Beliau mendidik orang-oarang mukmin yang tinggal dikota Mekah selama tiga belasa tahun meskipun risalah yang disampaikan di kota ini belum berhasil. Kemudian proses tarbiyah tidak berhenti, namun tarbiyah selalu berjalan hingga di kota Madinah. Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam dan para sahabat membentuk kelompok yang memiliki keistimewaan dalam bidang akidah, tingkah laku dan semangat hidup untuk Islam kerena mereka beranggapan bahwa sedikitnya umur harus bermanfaat untuk Islam.
Lantas apakah Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam memiliki madrasah formal atau tempat beliau menyampaikan pelajaran dan wejangan-wejangannya? Apakah kediaman al Arqam Radhiallahu ‘anhu yang beliau jadikan sebagai tempat tarbiyah bisa disebut dengan madrasah yang didirikannya untuk mendidik para sahabatnya dan orang-orang mukmin lainnya?
Pada dasarnya pemahaman yang sempit pada idiom madrasah tidak hanya terbatas pada kediaman al Arqam Radhiallahu ‘anhu, akan tetapi hakikatnya jauh lebih besar dari madrasah yang dikenal dalam sejarah. Dan pada suatu hari nanti madrasah itu akan mengeluarkan orang-orang pilihan yang memiliki peran sangat penting dalam perubahan besar dunia yang dikenal oleh umat manusia.
Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam adalah seorang da’I yang benar-benar memahami apa yang diajarkan dan diserukannya, serta seorang profil pendidik dan educator yang dianugrahi segala sifat pendidikan. Beliau berhasil menghubungkan para sahabatnya dengan Allah ‘Azza wa Jalla, baik dari segi pemahaman materi, pengetahuan dan keimanan, serta mampu menghubungkan mereka dengan Al-Qur’an yang merupakan compendium perintah untuk dilaksanakan sebagai bekal untuk hati mereka, penyuci jiwa-jiwa mereka, pengaruh tingkah laku meraka dan menjadi perantara hubungan antara mereka dan Rabb mereka. Dengan demikian pertemuan dirumah al Arqam merupakan suatu unsur pendidikan, sebagaimana beliau selalu membangunkan para sahabatnya dan orang mukmin lainnya dimalam hari untuk membaca ayat-ayat suci Al Qur’an dan melaksanakan Qiyamullail sebagai penguat ruhiyah.
Sementara itu cobaan dan ujuan serta bencana dalam keberlangsungan ini terus berlanjut. Ketika kaum musyrikin terus menerus menghujani dengan berbagai macam siksaan, Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah untuk melanjutkan proses tarbiyah dan Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam mengutus Ja’far ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu untuk turut serta bersama mereka sebagai pembimbing di perjalanan. Setelah sebagian penduduk kota Yatsrib memeluk Islam untuk melanjutkan keberlangsungan pendidikan sebagai misi menyampaikan risalah yang mulia, beliau mengutus Mus’ab ibn ‘Umair Radhiallahu ‘anhu sebagai da’i untuk mengajar dan membimbing masyarakat. Mereka membimbing mulai dari membaca Al Qur’an, melaksanakan shalat serta mengajarkan apa-apa yang diperintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam. Dengan berakhirnya periode Mekah, bukan berarti pendidikan juga berakhir. Akan tetapi terus berlanjut ke kota Madinah yang cakupan dan wilayahnya lebih besar dan luas dibandingkan Kota Mekah. Di kota ini Al Qur’an mulai menurunkan kandungan hukum syariat, hukum keluarga dan hubungan anatar masyrakat dalam seluruh bidang kehidupan. Dengan demikian, bidang garapan pendidikan semakin luas, seiring dengan maluasnya maksud dan tujuannya serta beragamnya perintah dan larangan yang dikandungnya. Sehingga Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam memilih orang-orang yang memiliki kemampuan untuk senantiasa mentransformasikan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat. Keberhasilan beliau dalam bidang pendidikan tidak tertandingi sepanjang perjalanan sejarah manusia. Keberhasilan beliau dalam mencapai tujuan yang tinggi dan luhur bersama masyarakat kota Madinah, tidak pernah dicapai oleh para filosof, pemikir dan para reformer pendidikan sekalipun. Keberhasilan yang beliau capai ini menunjukkan betapa pendidikan memiliki kemampuan untuk merubah jiwa-jiwa manusia, membawa manusia dan masyarakat pada kemuliaan dan keluhuran manusia.
Pun halnya dengan kondisi realita sekarang ini, dimana pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia memiliki kebebasan universal baik dari kalangan elite sampai kalangan menegah kebawah, dari pelosok desa hingga daerah perkotaan, pria dan wanita, dari yang muda hingga orang tuan, yang kesemuanya itu memiliki kebebasan mendapatkan pendidikan formal maupun non formal secara bebas. Pendidikan bisa dilaksanakan kapan dan dimanapun. Tidak ada yang namanya dengan penindasan dan penyiksaan dalam menempuh pendidikan Pembelajaran yang dilaksanankan dengan segala kenyamanan dan segala kelengkapan sarana dan prasarana seharusnya menghasilkan out put yang handal unmtuyk nmemenuhi tuntutran spesifikasi bidang ilmu pengetahuan yang semakin komprehensif. Dengan sekian banyah kemudahan tersebut tentunya bagi orang yang melaksanakan proses pendidikan harus diimbangi dengan keseriusan. Persaingan di dunia pendidikan semakin kompetitif. Kebutuhan dunia pendidikan dalam hal ini kebutuhan pendidik yang dibutuhkan insstansi atau lembaga pendidikan semakin berfariatif. Sebagai contih berapa banyak instansi atau lembaga pendidikan yang membutuhkan pendidik yang mempunyai kemampuan khusus seperti ahli dalam Ilmu Fiqh, Sejarah Islam, Ilmu Hadits, Tafsir dll. Ini adalah contoh kecil betapa guru yang memiliki kemampuan khusus banyak dibutuhan. Yang memiliki kompetensi demikianlah sangat dibutuhan di lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Agama ( MI, MTs dan MA). Satu materi ke-Islaman saja memiliki cakupan ilmu yang bervariasi Secara praktis tidak mungkin bagi seorang guru akan mengampu seluruh materi pelajaran tersebut. Seperti itulah sedikit gambaran tentang pendidikan, semakin banyak bidang garap maka semaikin banyak pula kebutuhan pendidik-pendidik yang profesionanl untuk mengajarkan kepada masyarakat.
Dengan adanya sekian banyak harapan yang tergambarkan di depan wajah calon-calon pendidik, maka mulai dari sekaranglah seharusnya calon-calon pendidik mempersiapkan diri tuk memasuki persaingan di dunia pendidikan. Dimana segenap daya dan upaya harus selalu di kobarkan untuk menjemput hari baru. Yang harus digaris bawahi adalah keberadaan seorang manusia harus memberi kebermanfaatan kepada orang lain. Paling tidak keberlangsungan pendidikan harus selalu terus berjalan. Paling tidak sebagai pendidik harus bisa mendidik keluarganya sendiri untuk mendapat derajat dan kemuliaan di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu a’lam
*)Penulis adalah Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta masa bakti 2009-2010

MENYIBAK PROBLEMA


Refleksi Lima Tahun Pemerintahan SBY-Kalla di Bidang Pendidikan
Oleh : Syaiful Fathurrahim
(Staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

Selama masa kampanye legislatif dan eksekutif, pendidikan selalu jadi komoditas unggulan untuk mendapatkan dukungan para pemilih. Kini setelah dewan baru terbentuk dan pimpinan pemerintahan sudah terpilih, masyarakat seharusnya mencermati komitmen wakil rakyat dan pemerintah untuk menepati janji politis mereka. Beberapa calon legislatif (waktu itu) menjanjikan pendidikan bermutu dan gratis bagi anak Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pernah menjanjikan pendidikan bermutu dan kesempatan yang adil. Lebih lanjut, SBY menjanjikan dalam lima tahun masa kepemimpinannya, dia akan menambah anggaran untuk pendidikan hingga mencapai 20% dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas 2003 . Sebenarnya, permasalahan dalam sistem pendidikan nasional begitu banyak dan kompleks. Permasalahan mendasar pendidikan perlu dikenali dan diselesaikan sebelum penambahan anggaran sampai dengan 20% untuk pendidikan dilaksanakan.
Secara mendasar, ada 3 macam permasalahan mendasar berupa kesenjangan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Permasalahan pertama terkait dengan kesenjangan dalam politik pendidikan. Upaya demokratisasi suatu bangsa harus dimulai dari pertumbuhan kesadaran warga bangsa. Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat persemaian bagi pertumbuhan kesadaran ini. Institusi pendidikan mestinya menjadi ruang bagi para calon agen perubahan untuk menumbuhkan tanggung jawab, kemandirian berpikir dan bersikap, inovasi, dan kreatifitas. Situasi ini tidak akan pernah tercapai selama pendidikan masih menjadi alat kekuasaan negara. Siswa diajar untuk patuh dan berpikir tunggal. Sekolah dan para pendidik makin dikebiri dan merasa tidak cukup berdaya untuk menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan bertanggung jawab. Para guru merasa terkungkung dalam berbagai keterbatasan sistem pendidikan karena kekuasaan negara memang masih sangat besar. Alasan-alasan klise seperti beban kurikulum yang terlalu padat, target kelulusan ujian, kesejahteraan guru yang memprihatinkan dan sebagainya masih menjadi penghambat bagi terciptanya suasana belajar yang memerdekakan anak untuk mengembangkan potensi dirinya.
Seyogyanya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun ketika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus mulai dari penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UAN, UAS dan sebagainya) sampai dengan sistem penerimaan siswa baru menunjukkan bahwa kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perijinan dan sebagainya).
Ketidak-seimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini telah mendapat sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika pemerintah masih beritikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik. Dinamika yang sehat di antara tanggung jawab dan kekuasaan negara serta peran negara dan masyarakat seharusnya bisa menentukan arah pendidikan nasional yang tepat. Praktik-praktik pendidikan seharusnya membebaskan dan memberdayakan anak-anak bangsa untuk menerima dan melaksanakan tanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan masyarakat yang demokratis. .
Masih terkait dengan politik pendidikan, kesenjangan kedua terjadi antara wacana dan praksis pendidikan. Ada cukup banyak orang pintar yang berperan dalam birokrasi sistem pendidikan nasional (baik sebagai birokrat maupun staf ahlinya). Ketika sedang berwacana, orang-orang pintar ini nampak sangat memahami dan menguasai das sollen dalam suatu proses dan sistem pendidikan. Bahkan, mereka bisa menunjukkan kekritisan terhadap das sein dari pendidikan di tanah air. Namun ketika para orang pintar ini sudah masuk dalam pusaran birokrasi dan mengeluarkan atau melaksanakan suatu kebijakan pendidikan, sepertinya pemahaman dan pengetahuan mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip pendidikan terlupakan dan tidak dijadikan landasan pemikiran. Bahkan, pemikiran-pemikiran yang sudah ditulis dalam bentuk produk hukumpun bisa diabaikan dan dilanggar. Kritik terhadap model dan administrasi evaluasi serta ujian nasional sudah sangat gencar diluncurkan bahkan dalam bentuk otokritik oleh sebagian dari birokrat pendidikan sendiri.
Di suatu seminar, seorang pejabat tinggi Diknas pernah mengkritisi evaluasi belajar tingkat nasional dan mengatakan akan menghapuskannya. Dan menurut UU Sisdiknas, evaluasi belajar sudah merupakan wewenang sekolah. Namun anehnya, ujian akhir nasional toh tetap dilaksanakan pada akhir tahun ajaran yang lalu. Memang seharusnya ada perbedaan konsep antara ujian dan evaluasi. Proyek UAN yang lalu, menurut penjelasan staf Diknas, bertujuan untuk menetapkan standarisasi tapi dalam pelaksanaannya, standarisasi atau evaluasi menjadi tidak jelas. Kesenjangan antara wacana dan praksis ini juga terlihat dalam kurikulum. Ungkapan "ganti menteri ganti kebijakan" sebetulnya lebih tepat berbunyi "ganti menteri ganti slogan." CBSA, Kurikulum Kebermaknaan, KBK maupun KTSP diluncurkan dengan nama dan slogan yang menarik dan menjanjikan perubahan dalam proses pembelajaran. Secara de facto, apa yang terjadi sesungguhnya di ruang-ruang kelas belum berubah secara signifikan. Model pengajaran satu arah masih sangat mendominasi di kebanyakan sekolah di Indonesai.
Akhirnya, kesenjangan juga terjadi seiring dengan proses globalisasi. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan siswanya masih berkutat dengan kemiskinan yang bersifat struktural, segelintir anak justru menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. Bahkan beberapa sekolah menamakan diri sebagai sekolah nasional plus dan mengadopsi kurikulum asing. Karena ketidak-mampuan negara dalam memastikan keterjangkauan pendidikan bermutu oleh semua anak bangsa, para siswa jadi tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai dengan latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Lingkungan belajar yang sangat homogen tentunya bukan lahan persemaian yang sehat bagi tumbuhnya kesadaran untuk hidup bermasyarakat dalam damai dengan warga lain yang berbeda. .
Janji untuk meningkatkan anggaran belanja negara sampai dengan 20% untuk pendidikan sebenarnya sangat superficial. Tanpa komitmen yang jelas untuk mengenali, mengurai, dan menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional, peningkatan anggaran pendidikan justru menyebabkan pemborosan uang negara untuk membiayai berbagai penyimpangan dan kesalahan dalam praktik-praktik pendidikan di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara


SANG BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
Oleh: Risma Septikasari
(Staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

Ki Hajar Dewantara (KHD) lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau berasal dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat berganti nama menjadi KHD. Semenjak itu beliau tidak lagi manggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat baik secara fisik maupun hati dan jiwanya. Perjalanan hidup beliau benar-benar diwarnai dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Boemipoetera) tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian beliau bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tcahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, beliau tergolong penulis yang handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai wartawan muda, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, beliau aktif dalam sesi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setjaboedhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pemerintah melalui Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij beliau pun ikut membentuk Komite Boemipoetera pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetera itu melancarkan kritik terhadap pemerintahan Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan tersebut beliaupun mengritik lewat tulisan berjudul als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een Voor Allen Maar Ook Allen Voor Een (satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan pertama yang dimuat dalam surat kabar De Express milik Dr Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyeleggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tiada kepentingan sedikitpun.”
Akibat tulisannya itu pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan berupa hukuman internering (hukuman buang). Yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Beliau pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangannya diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela KHD. Tetapi pihak belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang ke Kupang dan Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena disana mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran sehingga KHD berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian beliau kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah Air beliau mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya beliau pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasionalis, National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Peguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina taman siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya ordonansi tersebut akhirnya dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, beliau juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Tulisan beliau bahkan berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itu juga beliau berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) pada tahun1943 KHD duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs Mohamad Hatta dan K.H Mas Mansur. Setelah zaman kemerdekaan KHD pernah pernah menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama KHD bukan saja diabadikan sebagai tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan sebagai hari pendidikan nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI no.305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu pada tanggal 28 April 1959 beliau meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Sepeninggal beliau, oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum “Dewantara Kirti Griya” Yogyakarya untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan KHD. Dalam museum itu terdapat benda-benda dan karya-karya KHD sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup KHD sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran beliau tentang tujuan pendidikan, yaitu memajukan bangsa tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, status ekonomi dan sebagainya. Serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Ajaran beliau yang paling terkenal adalah Ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), Tut wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).

Jumat, 25 September 2009

met idul fitri




Jika HATI sejernih AIR, jangan biarkan IA keruh,
Jika HATI seputih AWAN, jangan biarkan dia mendung,
Jika HATI seindah BULAN, hiasi IA dengan IMAN.
Mohon Maaf lahir Dan batin

Andai jemari tak sempat berjabat.
Jika raga tak bisa bersua.
Bila Ada kata membekas luka.
Semoga pintu maaf masih terbuka.
Selamat Idul Fitri

Faith makes all things possible.
Hope makes all things work.
Love makes all things beautiful.
May you have all of the three.
Happy Iedul Fitri.

Walopun operator sibuk n’ sms pending terus,
Kami sekeluarga tetap kekeuh mengucapkan
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir Dan batin

Bila kata merangkai dusta..
Bila langkah membekas lara…
Bila hati penuh prasangka…
Dan bila Ada langkah yang menoreh luka.
Mohon bukakan pintu maaf…
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Walaupun Hati gak sebening XL Dan secerah MENTARI.
Banyak khilaf yang buat FREN kecewa,
Kuminta SIMPATI-mu untuk BEBAS kan dari ROAMING dosa
Dan Kita semua hanya bisa mengangkat JEMPOL kepadaNya
Yang selalu membuat Kita HOKI dalam mencari kartu AS
Selama Kita hidup karena Kita harus FLEXIbel
Untuk menerima semua pemberianNYA
Dan menjalani MATRIX kehidupan ini…
Dan semoga amal Kita tidak ESIA-ESIA…
Mohon Maaf Lahir Bathin.

MTV bilang kalo mo minta maap g ush nunggu lebaran
Org bijak blg kerennya kalo mnt maap duluan
Ust. Jefri blg org cakep mnt maap gk prl disuruh
Kyai blg org jujur Ga perlu malu utk minta maap
Jd krn Merasa anak nongkrong yg jujur, keren, cakep dan baek
Ya gw ngucapin minal aidzin wal faizin , mohon maaf lahir Dan batin ..

Mawar berseri dipagi Hari
Pancaran putihnya menyapa nurani
Sms dikirim pengganti diri
SELAMAT IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR BATHIN

Selamat Hari Idul Fitri ,
Marilah Kita saling mengasihi n memaafkan…
Ku tau kau telah banyak berbuat salah Dan dosa kepadaku,
sering meminjam duit n Ga ngembaliin,
pake motor Ga pernah isi bensin,
tapi tak usah risau… Ku t`lah memaafkanmu. ..

Rabu, 09 September 2009

PENDIDIKAN SAAT INI



Oleh Siti NoviatusShalihah

Majukan Pendidikan Indonesia….Majukan Pendidikan Indonesia,,. Slogan ini sering kita dengar, tapi realitasnya sampai saat ini pendidikan di Indonesia belum mampu mewujudkan generasi unggulan dan membangkitkan. Entah seperti apa, perkembangan kedepannya, bila pola pendidikan yang dipakai terus seperti ini. Apakah sistem pendidikan di Indonesia yang ada mampu membangkitkan masyarakat untuk bangkit melawan keterpurukan akibat sistem kapitalisme??
Pola pendidikan yang dirumuskan di era globalisasi saat ini cenderung tidak menyisipkan nilai ruhiah, tapi lebih mengedepankan logika matrealisme, serta sekulerisme. Akibat dari pola pendidikan semacam ini jarang disadari oleh masyarakat. Dan hasilnya sikap hedonisme generasi bangsa, gaya hidup hura-hura, konsumeristik, boros, cinta mode, pergaulan bebas dan kebebasan yang salah arah. Dan proses pendidikan melahirkan output berpikir dan bersikap berdasarkan prinsip materialisme, yang meninggalkanprinsip ajaran islam, sehingga muncul problem sosial kemasyarakatan dan kerusakan tatanan islam. Dan sesungguhnya pendidikan yang ideal adalah yang memperhatikan dimensi realitas, kapsitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual dari peserta didik dengan seimbang. Mendidik dengan kemandirian akan mendorong anak lebih kuat dalam bercita-cita, berkemauan bekerjadan berusaha, mempunyai cara hidup efektif, produktif serta hanya bersadar pada Allah SWT melalui tawakal yang benar setelah berikhtiar yang maksimal. Sehingga akan mempunyai jiwa iffah sekaligus izzah.
Sekolah-sekolah islam pun akhirnya terjebak dalam komersialisasi pendidikan dengan dengan alasan mengejar kualitas, standar, dan materi internasional, seakan lupa bahwa tujuan pendidikan islam sendiri salah satunya adalah mencerdaskan umat apapun tingkat sosial ekonominya, menjadi manusia utuh.
Buruknya output pendidikan kita saat ini adalah kesalahan paragdima pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Kelemahan paradigma pendidikan yang gagal membentuk manusia sesuai dengan visi misi penciptaannya ini disebabkan karena asas sekuleristik adalah membentuk manusia yang meterialistik dan individualistik.
Solusi dari sistem pendidikan sat ini adalah dengan mengubah asas pendidikan dari sekuler menjadi pendidikan yang berasa islam. Sistem pendidikan islam akan menghasilkan generasi yang shaih, cerdas dan peduli umat. Dan untuk mewujudkan yang demikian diperlukan sinergi antara keluarga, sekolah , masyarakat, partai politik dan negara. Keluarga sebagai wadah pendidikan utama bagi anak harus menanamkan aqidah dan memberikan keteladanan bagi anak untuk menjalankan ajaran islam.
Sekolah sebagai institusi formal haruslah mampu berfungsi untuk memadukan aspek-aspek pendidikan sehingga mampu mewujudkan anak didik yang bersyakhshiyyah islamiyah sekaligus menguasai sains dan teknologi. Masyarakat haruslah masyarakat yang islami, yang mampu menjauhkan pengaruh negatif lingkungan. Partai politik berfungsi sebagai institusi yang memimpin masyarakat menuju perubahan serta sebagai wadah untuk mencetak kadernya menjadi pemimpin islam yang tangguh dan negara sebagai penentu kebijakan haruslah mewujudkan sistem pendidikan islam integral dan memiliki kewajiban untuk menyiapkan dana bagi masyarakat untuk menikmati pendidikan tanpa adanya kesulitan

Minggu, 09 Agustus 2009

The Importance of Education in Islam


By: Iswanti

To seek knowledge is a sacred duty, it is obligatory on every Muslim, male and female. The first word revealed of the Qur’an was "Iqra" READ! Seek knowledge! Educate yourselves! Be educated.

Surah Al-Zumar, ayah 9 reveals: "Are those equal, those who know and those who do not know?" Surah Al-Baqarah, ayah 269 reveals: "Allah grants wisdom to whom He pleases and to whom wisdom is granted indeed he receives an overflowing benefit."

Centuries old monarchy, colonialism and the oppressive rule of their own people have brought about moral and spiritual degeneration of Muslims throughout the world. To retrieve them from this degeneration, it’s about time that the Muslim Ummah restructures its educational priorities along Islamic lines, fulfilling the existing needs as well. By virtue of such an educational program, the future generations will become the torch-bearers of Islamic values and play an effective role in the present world. The challenges of modern times call for rebuilding the structure of our educational program on such a foundation as to fulfil our spiritual as well as temporary obligations. Today we need an education system which can produce, what the late Sayyid Abul A’la Mawdudi said, "Muslim philosopher, Muslim scientist, Muslim economist, Muslim jurist, Muslim statesman, in brief, Muslim experts in all fields of knowledge who would reconstruct the social order in accordance with the tenets of Islam."

The Muslims today are the most humiliated community in the world. And should they persist in following the same educational program as given by their colonial masters, they will not be able to recover themselves from moral and spiritual decadence.

Ibn Mas’ud (Allah be pleased with him) reported that the Messenger of Allah (S) said: The position of only two persons is enviable; the person whom Allah bestowed wealth empowering him to spend it in the way of righteousness, and the person whom Allah gave wisdom with which he adjudges and which he teaches to others.

According to Tirmidhi and Ibn Majah, Ibn Abbas (Allah be pleased with him) narrated that the Messenger of Allah (S) said: A single scholar of religion is more formidable against shaytaan than a thousand devout persons.
Islam is our greatest gift. We have to be thankful for this gift. We have to render to Allah His due. Allah has given us so much by making us a part of the Ummah of the Prophet Muhammad (S) so we must totally commit ourselves as followers of the Prophet (S). We must become true Muslims.

Now how can we become Muslims in the true sense of the word? First let’s define what a Muslim is. A Muslim is not a Muslim simply because he’s born one. A Muslim is a Muslim because he is a follower of Islam, a submitter to the Will of Allah. We’re Muslim if we consciously and deliberately accept what has been taught by the Prophet Muhammad (S) and act accordingly. Otherwise we’re not true Muslims.

The first and most crucial obligation on us is to acquire knowledge and secondly to practice and preach this knowledge. No man becomes truly a Muslim without knowing the meaning of Islam, because he becomes a Muslim not through birth but through knowledge. Unless we come to know the basic and necessary teachings of the Prophet Muhammad (S) how can we believe in him, have faith in him, act according to what he taught? It is impossible for us to be a Muslim, and at the same time live in a state of ignorance.

It is essential to understand that the greatest gift of Allah – for which we are so over whelmed with gratitude – depends primarily on knowledge. Without knowledge one can’t truly receive Allah’s gift of Islam. If our knowledge is little, then we will constantly run the risk of losing that magnificent gift, which we have received unless we remain vigilant in our fight against ignorance.

A person without knowledge is like someone walking along a track in complete darkness. Most likely his steps will wander aside and he easily can be deceived by shaytaan. This shows that our greatest danger lies in our ignorance of Islamic teachings and in our unawareness of what the Qur’an teaches and what guidance has been given by the Prophet (S). But if we are blessed with the light of knowledge we will be able to see plainly the clear path of Islam at every step of our lives. We shall also be able to identify and avoid the dangerous paths of Kufr, Shirk and immorality, which may cross it. And, whenever a false guide meets us on the way, a few words with him will quickly establish that he is not a guide who should be followed.

On this knowledge depends whether our children and we are true Muslims and remain true Muslims.. It is therefore not a trivial to be neglected. We do not neglect doing whatever is essential to improve our trades and professions. Because we know that if we do neglect, we will starve to death and so lose the precious gift of life. Why then should we be negligent in acquiring that knowledge on which depends whether we become Muslims and remain Muslims? Does such negligence not entail the danger of losing an even more precious gift – our Iman? Is not Iman more precious than life itself? Most of our time and labor is spent on things, which sustain our physical existence in this life. Why can we not spend even a tenth part of our time and energy on things, which are necessary to protect our Iman, which only can sustain us in the present life and in the life to come? It is not necessary to study extensively to become a Muslim. We should at least spend about one hour out of twenty-four hours of the day and night in acquiring the knowledge of this Deen, the way of life, the Islam.
Every one of us, young or old, man or woman, should at least acquire sufficient knowledge to enable ourselves to understand the essence of the teachings of the Qur’an and the purpose for which it has been sent down. We should also be able to understand clearly the mission, which our beloved Prophet (S) came into this world to fulfil. We should also recognize the corrupt order and system, which he came to destroy. We should acquaint ourselves, too, with the way of life which Allah has ordained for us.

No great amount of time is required to acquire this simple knowledge. If we truly value Iman, it cannot be too difficult to find one hour every day to devote for our Iman.

Knowledge is identified in Islam as worship. The acquiring of knowledge is worship, reading the Qur’an and pondering upon it is worship, travelling to gain knowledge is worship. The practice of knowledge is connected with ethics and morality – with promoting virtue and combating vice, enjoining right and forbidding wrong. This is called in the Qur’an: amar bil-l ma’ruuf wa nah-y ‘ani-l munkar.
Not only should we seek knowledge, but when we learn it, it becomes obligatory on us to practice it. Though we must remember that correct knowledge should come before correct action. Knowledge without action is useless because a learned person without action will be the worst of creatures on the Day of Resurrection. Also, action should not be based on blind imitation for this is not the quality of a thinking, sensible human being.
Knowledge is pursued and practiced with modesty and humility and leads to beauty and dignity, freedom and justice.

The main purpose of acquiring knowledge is to bring us closer to God. It is not simply for the gratification of the mind or the senses. It is not knowledge for the sake of knowledge or science for the value of sake. Knowledge accordingly must be linked with values and goals.
One of the purposes of acquiring knowledge is to gain the good of this world, not to destroy it through wastage, arrogance and in the reckless pursuit of higher standards of material comfort.
Another purpose of knowledge is to spread freedom and dignity, truth and justice. It is not to gain power and dominance for its own sake.

Obviously, what we may call the reservoir of knowledge is deep and profound. It is a vast and open field that is not limited.
It is impossible for anyone to gain anything more than a fraction of what there is to know in the short span of one’s life. We must therefore decide what is most important for us to know and how to go about acquiring this knowledge.

The following ahadith shows how important and how rewarding knowledge is.
"He who acquires knowledge acquires a vast portion." AND "If anyone going on his way in search of knowledge, God will, thereby make easy for him the way to Paradise."
We, the children, are the future. The future lies in our hands, but only through knowledge because whoever neglects learning in youth, loses the past and is dead for the future.
May Allah (SWT) give us strength to behave and act just as He likes us to do and be pleased with us, and that should be the purpose of our lives. Rabbi zidnee ilma. Aameen.

التربية الإسلامية

العلم هو اكبر الوديعة للإنسان الذى يجب على الإنسان أن يبحثه. و يجب على الباحث ان يعمل ما علمه. لأن هذا سيكون الإنسان قادرا. و كان بعلمه سيعرف الإنسان نفسه و ربه، و يفهم التكاليف و أهداف الحيات، و هو احد من اهمّ العوامل التى تقرّر قيمة الانسان جيدة فى الدنيا و الاخرة. قال الله تعالى فى القرآن الكريم،
...Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4 (المجدلة : 11)
التعليم هو نقطة الإطلاق هى التى ستؤدى إلى شخص للحصول على المعرفة مع نظام التعليم. فالعملية التعليم و استيعاب العلم اكثر تركيزا، و فعالية. اكثر من نظام التعليم الذى يمارس فى جميع انماء العالم. التعليم اثنان. الرسمى و غير الرسمى. امّ التعليم ينبغى للامة المسلمين هى التربية الإسلامية و نظام و التعليم التى موافق مع القاعدة الإسلامية.
التربية الإسلامية هى نظام التعليم فيها وجود توازن بين مواد الدين الإسلام مع مواد العام ومواد الامراوية و المواد التى الدنياوية. و لا يؤدى إلى توفير المعرفة العامة.
التعليم فى الإسلام هناك ثلاثة مراحل النشاط، و هى تسميع (قراءة آيات الله) التعليم الكتاب و السنة، و تعليم الكتاب و الحكمة.
هذه العنامر الثلاثة يجب دائما عملية التعليم و المواد العامة. عام على جميع اشكال المواد التى تنبفى ان تعطى بأكبر قدر ممكن و تنبغى ايضا منح من وجهة نظر الدين الإسلام.
التربية الإسلامية لا تؤدى الى واحد من الجوانب الورادة فى النفس البشرية. و لكن التربية الإسلامية هى نظام التعليم جمع الجوانب، سواء رحية و فكرية و العملية. التربية الإسلامية فى التعليم هو أن شركة القرآن و السنة كماهر.

E K S P R E S I

SEBUAH DAHAGA
By: Qalam el-Islam

Bukan!
Tak ingin dirimu, dinda
Jangan hatimu, dinda
Jaga rasamu, dinda
Untuk sucimu, dinda

Tidak!
Aku tak ingin berdusta
Hati hanya ada merasa
Jiwa terus dahaga
Dan tak mampu berkata
Hanya menganga

Hmm…
Kenapa dia?!
Apakah dia?!
Hanyakah dia?!
Penawar dahaga…


PEMILU YANG BERLALU
By: Qalam el-Islam

Telah lalu pemilu
5 tahun lalu pemilu
10 tahun lalu pemilu
Dulu-dulu pernah pemilu

Saat kampanye mereka berkata;
“Siapa ingin kerja?”
Mulut-mulut menganga,
Hingga rakyat takjub tak kuasa bicara
Saat itu menawarkan harga,
Sembako murah untuk semua

Sekarang...
Semua hampir pura-pura lupa
Tapi rakyat kan sulit lupa
Dan masih saja papa
Menatap langit yang hampa
Bagai kata-kata para penguasa

GURU DALAM KACA MATA PUBLIK



Oleh: Hanief Prastiwi

Pendidikan merupakan tangga meraih kemajuan serta penggerak peradaban. Maju tidaknya peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari proses pendidikan yang dibangun dan berkembang di dalamnya. Belum lengkap rasanya ketika membahas masalah pendidikan namun tidak membicarakan mengenai guru, karena figur yang satu ini sangat menentukan maju mundurnya dunia pendidikan. Bahkan ketika Hirosima dan Nagasaki dibom atom, yang lebih dahulu ditanyakan oleh Kaisar Jepang “Masih ada berapa jumlah guru?”. Hal itu menandakan bahwa guru mempunyai peranan yang besar dalam mengukir serta menentukan merah hitam suatu negara.

Pak guru, bu guru, ustadz, pendidik atau sebutan guru lainnya, di mata masyarakat dipandang sebagai figur yang “serba mumpuni”, sedang dalam filsafat Jawa guru dikenal sebagai sosok yang “digugu lan ditiru”. Apalagi di mata siswa, guru dipandang sebagai orang yang serba bisa, selalu dihormati, dan perkataannya selalu dianggap benar. Selain tugas utamanya mengajar, tak sedikit guru yang kemudian menjadi pengurus RT/RW, organisasi pemuda, organisasi masyarakat dan sejenisnya.

Ketika kita menengok sejarah dahulu, kedudukan dan profesi yang sangat disegani, dibanggakan, dan dimuliakan. Dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan di masyarakat maupun yang bersifat kenegaraan, guru selalu ditempatkan pada posisi depan. Bahkan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia , guru berada pada barisan terdepan. Seperti yang kita ketahui bahwa Panglima besar Jendral Sudirman, Ki Hajar Dewantoro, dan Imam Bonjol adalah seorang guru yang disegani.

Pada kondisi apapun, guru tetap memegang peranan penting dalam proses pendidikan. E. Mulyasa (2008) dalam buku Menjadi Guru Profesional menyatakan “Eksistensi guru tetap penting, karena peran guru tidak dapat digantikan dengan teknologi. Bagaimanapun canggihnya komputer, tetap saja bodoh dibandingkan guru, karena komputer tidak dapat diteladani, bahkan bisa menyesatkan jika penggunaannya tanpa kontrol. Fungsi kontrol ini pulalah yang memposisikan figur guru tetap penting”.

Dalam proses pendidikan, guru tidak sekedar memindahkan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya (transfer of knowledge) akan tetapi juga menanamkan nilai (value), membangun karakter (character builbing), serta mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didiknya. Guru merupakan ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan serta mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien. Pada aspek sosial masyarakat, guru berfungsi sebagai penanam nilai-nilai budaya yang tercipta dalam masyarakat.

Oleh karena itu, peranan guru sangatlah mulia dan komplek. Akan tetapi, mengapa saat ini kondisi dan profesi guru mulai tidak dianggap sebagai hal yang prestise dan membanggakan oleh sebagian masyarakat bahkan ada yang menganggap guru menempati posisi yang kecil?

Guru, Antara Idealitas dengan Realitas

Seperti yang telah lazim diyakini bahwa pendidikan penopang kemajuan suatu bangsa. Rusaknya pendidikan, akan menjadi cermin rusaknya peradaban suatu bangsa. Begitulah yang terjadi di Indonesia saat ini seperti halnya yang disampaikan dalam buku “Pendidikan Rusak Rusakan”. Mirip “puisi tak terkuburkan” Garin Nugroho, dunia pendidikan kita telah melakonkan kepedihan yanghampir tak tersuarakan, akan tetapi desis bisikan kepedihan ini harus berbunyi juga.

Sejenak kita merenungkan bagaimana kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Dunia pendidikan kita masih jauh panggang dari apai. Dunia pendidikan yang seharusnya dapat diproses dan dijalankan dengan baik, masih belum menjadi kenyataan. Guru yang merupakan komponen penting dalam pendidikan, tentunya ikut menentukan maju mundurnya pendidikan ini. Kita lihat realita saat ini, tak sedikit orang yang menjadikan guru sebagai profesi jalan pintas yang penuh keterpaksaan, sehingga dalam menjalankan tugasnya pun hanya didasari dorongan perut saja.

Tak hanya itu saja, slogan “guru kencing berdiri murid kencing berlari” yang bermakna “guru cerminan bagi anak didik” ini pun sedikit demi sedikit mulai diabaikan. Padahal, kalimat itu telah memberikan pesan moral bagi guru agar senantiasa bertindak dengan penuh pertimbangan serta bisa memberikan keteladanan yang baik bagi anak didiknya. Maka tidak mengherankan, ketika guru menanamkan nilai atau memberi contoh yang tidak baik, maka murid akan berperilaku lebih buruk dari apa yang dilakukan gurunya.

Sebagai contoh konkrit dari pernyataan tersebut misalnya perbutan guru yang membocorkan jawaban Ujian Nasional (UN). Secara sepintas memang bertujuan untuk menolong kelulusan anak didik, akan tetapi dampak yang ditimbulkan kemudian akan jauh lebih besar. Secara langsung maupun tidak, guru telah menanamkan sikap tidak ketidakjujuran, menimbulkan ketidakpercayaan kepada diri murid sendiri maupun kepada gurunya. Penanaman benih-benih ketidakjujuran ini pula yang kemudian melahirkan generasi yang bermental korupsi.

Guru yang seharusnya menjauhkan serta membersihkan mental koruptor dari dalam jiwa anak didik tetapi justru sebaliknya. Guru hendaknya mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang tangguh bagi bangsa ini. Ia juga mengajari anak agar memiliki keberanian, Eko Prasetyo (2006) mengatakan “Guru ajari kami keberanian. Jangan kau jadikan anak-anak kami menjadi penakut. Takut terhadap penderitaan, takut menentang penindasan, dan takut berbuat kebenaran. Jangan kau jadikan muridmu sosok yang kerdil dalam pemikiran. Kemampuannya hanya meniru, menjiplak, dan menyontek apa yang dilakukan di luar sana ”.

Namun secara umum, tidak semua guru di negri ini mengajarkan perilaku buruk kepada anak didiknya. Masih kita temukan guru-guru satria yang bermental mulia, yang berani menanggung resiko demi kejujuran, kemuliaan, serta menjunjung tinggi profesionalisme guru.

Karakteristik Guru

E. Mulyasa menyatakan ada tiga sifat dan karakteristik yang harus dimilki guru yakni kreatif, profesional serta menyenangkan. Sedangkan menurut Heger & Kaye, karakteristik keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologi.

Guru yang fleksibel umumnya ditandai dengan keterbukaan berfikir dan beradaptasi. Ia selalu berfikir kritis dan menggunakan akal sehat yang dipusatkan dalam pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu. Guru yang terbuka biasanya ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern, misalnya siswa, teman sejawat dan lingkungan tempat kerja. Ia juga memiliki empati dan mau menerima kritik dengan ikhlas.

Itulah sebagian yang harus dilakukan guru sekarang ini. Guru harus bangun dari tidur nyenyaknya yang selalu membanggakan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru harus bangkit untuk menciptakan serta mempertahankan citra profesionalisme yang mapan di mata masyarakat. Pepatah mengatakan: “Kegemilangan masa depan tergantung apa yang diperbuat hari ini”. Secara implisit dapat dikonotasikan bahwa keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di masa depan sangat tergantung pada stake holder pendidikan yang meliputi: pendidik, peserta didik, masyarakat, institusi, sarana dan prasarana, serta pengelolaan.

Sebagai makhluk individu, guru diharapkan mengembangkan self existence yang bermuara pada peningkatan kompetensi personal, misal dengan kegiatan ilmiah, penemuan metode dan media pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. Sebagai makhluk sosial, guru diharapkan mengelola interaksi multi arah baik dalam proses belajar mengajar maupun pergaulan di masyarakat. Agai makhluk susila, ia mampu menginternalisasikan nilai yang terkandung dalam pikiran, gagasan yang terbukti baik dan bermanfaat serta diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk beragama, menempatkan guru sebagai pribadi yang harus beriman dan bertakwa pada Sang Pencipta.

Aku Seorang Guru!

Dunia pendidikan merupakan dunia yang penuh dengan peluang dan tantangan. Jika Anda memang guru atau ingin menjadi guru, maka bekerjalah sebagai seorang gur. Tanamkan kuat pada jiwa kita bahwa “Aku Seorang Guru!!” . Guru adalah pekerjaan berat tetapi menyenangkan. Bahkan sebagian orang yang merasa guru bukan hanya sekedar bekerja, namun juga bercinta, yakni bekerja dengan cinta.

Ustadz Sayyid Qutb mengatakan “Barang siapa yang hidup untuk dirinya sendiri, maka ia akan hidup sebagai manusia kecil dan mati sebagai manusia kecil. Barangsiapa yang hidup untukorang lain, maka ia akan hidup sebagai manusia besar, dan tidak akan pernah mati selamanya”.

BEM Jurusan Tarbiyah 2009-2010


BERSAMA MEMBANGUN PERADABAN
Oleh : Muhammad Anwar*)

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta adalah komunitas yang khas dengan corak kepribadiannya sendiri. Kekhasan inilah yang menjadikannya beda dengan organisasi kemahasiwaan lain di STAIN Surakarta maupun dengan BEM Tarbiyah di kampus-kampus Islam lain. Memajukan pendidikan yang bernafaskan nilai-nilai Islam yang integral, itulah semangat yang membuat kami berbeda.
BEM Jurusan Tarbiyah adalah suatu organisasi kemahasiswaan internal kampus yang berada di bawah Jurusan Tarbiyah dan suatu Organisasi yang secara struktural berada dibawah BEM, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) STAIN Surakarta. Pada dasarnya BEM J Tarbiyah mempunyai peranan yang sangat penting, di antaranya adalah menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas mahasiswa Tarbiyah. Selain itu BEM Tarbiyah juga berfungsi sebagai jembatan (mediator) dalam penyelesaian permasalan–permasalahan kemahasiswaan dalam segala aktivitasnya baik dilingkungan ke-akademikan maupun sosial kemasyarakatan, khususnya bagi mahasiswa Tarbiyah.
Visi, Misi dan Pejabat-pejabat BEM Tarbiyah
Visi BEM Tarbiyah adalah “Mewujudkan organisasi yang solid dan profesional dalam rangka mencetak sumberdaya manusia yang produktif dan berkepribadian Muslim.” Sedangkan misinya adalah “Mengoptimalkan fungsi kader dalam setiap kegitan dan Menumbuhkan komitmen dan solidaritas demi kemajuan bersama. Menyelenggarakan kegiatan yang mendukung peningkatan intelektualitas mahasiswa Tarbiyah. Meningkatkan kualitas kinerja BEMJ Tarbiyah dengan berdasarkan pada nilai- nilai Islam. Membangun komunikasi dan jaringan di tingkat regional”
Sampai saat ini BEM Tarbiyah sudah mengalami beberapa pergantian kepengurusan, di antaranya Hakiman, Muhammad Nur Alim, Wahyu Nur Hidayat dan Hastono Nur Wahyudi. Sedangkan pada periode 2009/2010 ini BEM J Tarbiyah diketuai oleh Eko Setyawan mahasiswa Pendidikan Agama Islam semester VII dengan sekretaris Umum Muhammad Anwar mahasiswa PAI semester V yang dibantu oleh Latifah Permatasari Fajrin (PAI '07) sebagai wakilnya. Sedangkan jabatan bendahara umum dipegang oleh Mutmainah (PBA ’06) dengan dibantu oleh Ayu Amarul (PAI ’07) sebagai wakilnya.
Program Kerja BEM Tarbiyah
Ada beberapa Bidang yang mempunyai ladang garap yang berbeda-beda di BEM J Tarbiyah ini. Pertama, Bidang Perkaderan Mahasiswa (PKM). Bidang yang dikoordinatori oleh Fitriyanto (PAI ’06) ini memiliki staf sebagai berikut: Arif Saifuddin (PAI ’07), Barkah Sufendi (PAI '07), Fajar Ambarwati (PAI '07), Nur Latifah Munawaroh (PAI '07), Dwi Utami (PAI '07) dan Siti Noviatus Salihah (PAI '06). Progam kerja dari bidang ini diantaranya adalah Diklat Kepemimpinan Mahasiswa (DKM), Studi Orientasi Mahasiswa Tarbiyah (SOMASTA), Tarbiyah Community, Study Tour dan PkM in Discussion
Bidang selanjutnya adalah Bidang Pendidikan dan Penalaran (P&P). Secara umum bidang yang dipimpin oleh Muhammad Nasri Dini (PBA ’06) ini membidangi tentang masalah-masalah yang berhubungan bengan nilai-nilai intelektualitas mahasiswa tarbiyah. Beberapa programnya terjabar berikut, penerbitan Mading Tarbiyah dan Majalah Tarbiyah, penyenggaraan Bedah Buku, Seminar Pendidikan dengan menghadirkan tokoh-tokoh pendidikan nasional, juga penyelenggaraan Lomba Karya Tulis Ilmiah maupun lomba Pidato multi bahasa bagi siswa-siswa SMA se Surakarta. Bidang ini didukung oleh beberapa staf, yaitu Syaiful Fatkhurrahman (PAI 07), Jauharul Fuad Rohas Al Banna (PBA ‚06), Jaya Firdaus (PBA 06), Risma Septikasari (PAI 07), Iswanti (PAI '07) dan Sri Lestari (PAI '07).
Ada unsur penting dalam BEM Tarbiyah ini. Dia adalah Lembaga Semi Otonom (LSO) Advokasi Mahasiswa. Selain bertugas mengawasi dan mengevaluasi kerja dari seluruh pengurus BEM Tarbiyah, LSO juga berfungsi sebagai tempat seluruh mahasiswa Tarbiyah berkeluh kesah. Kalau ada sesuatu yang tidak beres di Jurusan Tarbiyah baik tentang pelayanan akademik, perkuliahan maupun hal lain yang tidak enak dirasakan oleh mahasiswa maka alangkah baiknya untuk disampaikan ke LSO untuk selanjutnya diteruskan kepada pihak-pihak yang berwenang (pejabat-pejabat Jurusan). LSO dikomandoi oleh Edy Daryono (PAI 06) dengan beberapa anggota; Muhammad Sadam 07, Condro Setyono 07, Alfin Nurlaiala '07, Amanatul Baits '07 dan Ninik Haryati '06
Bidang terakhir yang dimiliki BEM Tarbiyah adalah Bidang Pengabdian dan Pelayanan Masyarakat (PPM). Dengan ketua Kristiyono, bidang ini mempunyai berbagai program kerja sosial kemasyarakatan sebagai berikut; Ramadhan Ceria, Bakti Sosial dan pengobatan gratis, BEM JT With Love dan Gema Idhul Adha. Relawan yang tergabung dalam bidang ini adalah; Nashir Tohari '06, Danang Purnama 06, Ikhsanudin (PBA 04), Muhammad Yusuf Agung Hidayat '07, Ida Rahmawati (PBA '06), Ria Purnamawati '07, Dwi Retno '07, Ari Subiyanto 06 dan Jiyanto '07.
Dengan semangat bersama membangun peradaban, BEM Tarbiyah kepengurusan periode ini berharap untuk bisa tetap progresif, dinamis dan selalu profesional dalam menjalankan langkah-langkah kerja kami. Dan kerja BEM Tarbiyah juga tak akan ada artinya tanpa adanya partisipasi dari semua mahasiswa Jurusan Tarbiyah ini.

*) Sekretaris Umum BEM Tarbiyah STAIN Surakarta periode 2009-2010, alumni Diklat Kepemimpinan Mahasiswa (DKM) Tarbiyah 2007

ISTILAH PENDIDIKAN PARA TOKOH


Dunia pendidikan adalah merupakan dunia yang sangat komplek. Kompleksitas dunia pendidikan itu bahkan juga akan kita jumpai dari segi bahasa yang terdapat di dalamnya. Disana kita akan menemukan bahasa-bahasa atau istilah-istilah yang begitu akrab dengan dunia pendidikan kita. Walaupun mungkin istilah-istilah itu sudah ada sebelumnya, namun yang mempopularkannya adalah sejumlah tokoh ternama baik di lingkup nasional maupun internasional.
Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Ki Hajar Dewantara. Dari tokoh pendiri sekolah Taman Siswa yang lekat dengan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei ini kita akan menemukan kalimat yang sangat popular sampai saat ini. Kalimat tersebut adalah Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Tut Wuri Handayani. Kalimat ini pun sekarang menjadi ikon bagi dunia pendidikan nasional kita.
Pada bagian lain kita juga akan menemukan istilah di bidang pendidikan yang terdapat di sebuah lagu popular ciptaan Sartono yang berjudul Himne Guru. Yaitu istilah pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin istilah untuk menggelari seorang guru ini sudah ‘ada’ sebelumnya, tapi kemudian bait-bait dari lagu Sartono itulah yang menjadikan istilah tersebut familiar bagi dunia pendidikan kita sampai sekarang.
Kata perguruan yang saat ini dipakai pun dulunya juga merupakan istilah yang asing. Kata tersebut konon pertama kali dipakai oleh KH. Ahmad Dahlan untuk menamai lembaga pendidikan yang beliau dirikan pada masa penjajahan Belanda yaitu Perguruan Muhammadiyah. Sebelum menggunakan kata perguruan lembaga pendidikan pribumi biasa dinamai dengan pesantren.
Dari dunia internasional pun kita juga akan menemukan istilah yang saat ini dipakai oleh beberapa kalangan pendidikan di negara kita. Diantara istilah itu adalah liqa’ atau halaqah yang dapat diartikan secara sederhana pertemuan antara guru dan murid. Istilah yang konon diimpor dari salah satu tokoh perjuangan Mesir Hasan Al Banna ini sekarang sangat popular digunakan di sekolah-sekolah Islam Terpadu. Wallahu A’lam Bish Shawab. (Qalam el-Islam)

MEMBUKTIKAN JANJI ALLAH TA’ALA


Judul : Tembang Ilalang (Pergolakan Cinta Melawan Tirani)
Penulis : Md. Aminudin
Penerbit : Semesta (Lini Sastra Kelompok Pro-U Media), Yogyakarta
Tebal : 512 halaman
Sesungguhnya janji Allah itu sebenarnya dan janganlah pendirian engkau dapat digoncangkan oleh orang-oRang yang tiada punya keyakinan.
Lintasan-lintasan peristiwa yang telah terjadi pada tahun-tahun lewat kini menjadi ingatan kita bersama. Berapa juta manusia yang telah terbunuh dalam berbagai peristiwa pada masa penjajahan, pada masa transisi maupun pada masa setelah kemerdekaan di bumi pertiwi ini.
Sesungguhnya Asroel sendiri ingin menghadapi apapun yang terjadi dalam kehidupannya. Bahkan jika kemudian ia harus berhadapan dengan keberpihakan hukum yang selalu tidak mau memberi harapan kepada orang-orang jelata sepertinya. Pada zamannya bukan kali pertama seseorang akan kehilangan orang-orang yang dicintainya. Seperti halnya Asroel yang harus meninggalkan keluarga yang sangat dicintainya tanpa tahu kapan dia akan bertemu lagi. Di perjalannya yang panjang itu banyak peristiwa yang dilaluinya. Dan berbagai pengalaman pahit mendewasakan pribadinya menjadi manusia yang pemberani dan mempunyai prinsip-prinsip dalam perjuangan hidupnya yang kemudian menjadikannya disegani dan diperhitungkan oleh kawan maupun lawannya.
Perjalanan Asroel dimulai dari tempat tinggal pamannya Moh. Sholeh di Padang Panjang menuju rumah Kyai Makoen di Jawa Timur. Dan disitulah ia berjumpa dengan pahit getirnya kehidupan. Disini ikhwal pertemuan Asroel dengan Sri Rukmini putri semata wanyang Kyai Makoen yang kemudian dinikahinya hingga ia dikaruniai seorang putra bernama Ismail. Belum genap Ismail berusia satu tahun ia harus meninggalkanya karena keadaan yang tak memungkinkan untuk tetap bersama. Dia seorang lelaki yang tak pernah bisa diam melihat bangsanya dalam penderitaan cengkeraman tangan penjajah. Bagaimana dia masuk keluar hutan untuk bergerilya serta melatih dan menolong bangsanya agar dapat lepas dari tangan musuh. Mendidik orang-orang lemah dan bodoh supaya bisa pandai bermartabat dan mandiri dalam mengarungi kehidupannya sendiri. Bagaimana ia masuk keluar bui karena pendapatnya yang tak sepaham dengan lawan-lawannya dari kalangan penjajah maupun saudara sebangsa yang berhianat.
Asroel juga adalah seorang jurnalis yang handal dalam menyuarakan aspirasi rakyat yang tertindas oleh penjajah maupun oleh warga bangsa pribumi yang menjadi benalu bagi bangsanya sendiri. Dia merasakan sendiri bagaimana pribumi terus bergerak, dalam lelah dan keringat menjadi buruh-buruh perkebunan dan menempuh hidup dengan cambuk yang mengancam punggung-punggung mereka. Juga perilaku orang-orang terdidik, para intelektual dan propagandis yang hanya pandai menuangkan pikiran tetapi dalam kenyataannya sangat miskin realisasi dan hanya menjadi penjilat penguasa.Ya. Itulah kenyataan hidup dari masa ke masa yang dijalani oleh manusia. Walau mempunyai ketinggian intelektual kalau tanpa disertai kecerdasa moral dan spiritual maka hanya akan menjadikannya manusia materialistis dan tak mempunyai hati nurani. Dan lahirnya moral sejati adalahj dari kekuatan religi, yaitu kepercayaan kepada Dzat yang Mahatinggi yang membuat alam ini ada. Dzat yang kepadaNya semua makhluk bergantung. Yaitu kepada Allah Ta’ala.
Kita patut acungkan jari pada Md Aminudin yang dengan usia yang semuda itu dapat penghasilkan karya sejarah yang sangat berharga. Sehingga kita bisa mengingat kembali kenyataan hidup di waktu itu benar-benar pahit. Bagaimana orang-orang yang tidak percaya adanya Allah yang akan semena-mena dan berbuat sekehendak hatinya. Tak berperikemanusiaan dan tak berbelaskasihan sedikitpun. Dan orang-orang yang berkuasa tak jauh beda, dia akan memanfaafkan kekuasaannya sesuai dengan nafsu pribadi. Hal tersebut sama dengan yang terjadi di zaman sekarang ini. Bahkan semakin maju pula para penguasa memperlakukan orang-orang lemah hingga semakin tidak berdaya.
Tapi apakah keadaan ini akan kelal selamanya? Kalau kita mau berpikir jernih maka di dunia ini tiada yang kekal abadi. Apalagi dengan kejahatan dan kesewenag-wenangan itu. Ia juga akan hancur dilindas roda-roda zaman yang terus berjalan. Karena perilaku buruk semakin lama juga semakin tidak disukai orang. Bahwa sesuatu yang buruk itu akan hilang jika yang benar dimunculkan. Buku ini pun patut dibaca oleh siapa saja dari generasi ke generasi untuk mengingatkan kita kepada sejarah bangsa yang tidak pernah terhapus oleh waktu dan termakan oleh zaman. (Ummu Muhammad)

Isnandariawan:


SETIAP DENYUT NADINYA ADALAH DAKWAH

Nama lengkap : Isnandariawan
Nama panggilan : Isnan, Nandar
Tempat, tanggal lahir : Boyolali, 22 Agustus 1988
Aktifitas : Dakwah & Kuliah
Cita-cita : Mendirikan Yayasan untuk Membina Kaum Muda
Riwayat pendidikan :
TK Aisyiyah Bentangan, lulus tahun 1994
MI Muhammadiyah Bentangan, lulus tahun 2000
SMP N 2 Tulung, lulus tahun 2003
SMA N 1 Teras, lulus tahun 2006
STAIN Surakarta Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), lulus tahun 2010 insya Allah…
Pengalaman organisasi :
Pengurus OSIS SMA N 1 Teras
Ketua ROHIS SMA N 1 Teras
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) STAIN Surakarta
Aktivis LDK STAIN Surakarta
Prestasi :
1.Juara 1 Lomba Karya Ilmiah SMA tingkat Propinsi Jawa Tengah tahun 2002
2.Finalis Lomba Penelitian Inovasi Mahasiswa Tingkat Propinsi Jawa Tengah tahun 2009


Tidak banyak mahasiswa multitalenta di kampus hijau kita tercinta STAIN Surakarta ini. Dan diantara yang sedikit itu akan kita temukan nama Isnandariawan. Bersama dua orang teman yang tergabung dalam kelompoknya, ia lolos mewakili Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta sebagai finalis dalam lomba Penelitian Inovasi Mahasiswa Tingkat Propinsi Jawa Tengah tahun 2009 ini. Ingin tahu lebih lengkap tentang sosok aktivis dakwah kampus yang bersahaja ini selengkapnya? Mari kita simak hasil wawancara kru Majalah BEM Tarbiyah dengan Akhi Isnan disela-sela kesibukannya yang semakin hari semakin padat saja.
Islami sejak belia
Ikhwan yang satu ini memang telah akrab dengan Islam sejak kecil. Walau keluarganya juga bukan dari kalangan santri namun hidayah keislaman telah diberikan kepadanya sejak lahir (bahkan sejak dalam kandungan) melalui keluarganya tersebut. Dan ini adalah nikmat pertama dan merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Menurutnya, lingkungan tempat keluarganya tinggal juga mendukung terbentuknya pribadi yang didalamnya mengkristal nilai-nilai islami. Pembinaan generasi penerus Islam adalah pemandangan yang sudah sangat lazim dia saksikan sejak kecil. Untuk membentuknya menjadi insan islami, orang tuanya memilih menyekolahkan dia di TK Aisyiyah yangkemudian dilanjutkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Setiap pulang belajar dari TK hingga MI, dia dan teman-teman di kampungnya selalu mengikuti kajian dan kegiatan TPQ yang menjadikannya memiliki pondasi keagamaan yang baik. Orang tuanya (utamanya bapak) juga selalu menanamkan nilai-nilai agama agar kelak anaknya menjadi manusia yang shalih.
Ketika lulus MI dan melanjutkan ke SMP N 2 Tulung ‘lingkungan keagamaan’ di sekolah memang sempat terhenti sejenak. Namun itu tidak berlangsung lama. Lepas dari SMP dan meneruskan studinya di SMA N 1 Teras dia kembali mengalami kesempatan mengapresiasi nilai-nilai Islam bersama ROHIS. Selain pernah menjadi pengurus OSIS dia juga diberi kesempatan Allah untuk aktif bahkan sempat menjadi Ketua ROHIS di sekolahnya. Dan sejak masuk di ROHIS tersebut pada selanjutnya terpola dalam pikirannya bagaimana dia bisa terus berjuang untuk kemenangan Islam. Disana dia juga berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas diri untuk mempersiapkan perjalanan panjang dakwah. Selain itu sebagai Ketua Rohis Isnan bersama 15 aktivis dakwah sekolah anggota Rohis lainnya juga dituntut untuk mengajak orang lain agar dapat sadar bahwa sebaik-baik jalan adalah jalan Tuhan (sabilillah). Sehingga militansi dakwah dan semangat keislaman di sekolahnya dapat selalu terjaga.
Dakwah hingga darah penghabisan
‘Kita adalah da’I sebelum yang lainnya’. Mungkin kalimat tersebut yang memotivasi Isnan untuk selalu berdakwah dan menyeru kepada Islam disetiap waktu dan tempat. Bukan hanya dakwah bil lisan tetapi yang tak kalah pentingnya adalah dakwah bil hal. Di dalam kehidupan kampus STAIN Surakarta ini Akhi Isnan (Akhi/Ikhwan adalah sebutan ‘resmi’ bagi Aktivis Dakwah Kampus putra, Ukhti/Akhwat bagi putri) ternyata sudah terencana dengan rapi apa saja yang harus dilakukan dan dicapai selama kurun waktu empat tahun. Satu tahun pertama untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan membangun komunikasi, tahun kedua ‘memulai’ aktivitas, dan di tahun ketiga targetnya adalah mencapai puncak karir dalam berorganisasi. Setelah menyelesaikan skripsi dan lulus pada tahun keempat, rencana dakwah strategis mulia yang dipunyainya adalah NIKAH. Ternyata Allah Mahatahu dan DIA punya rencana indah untuk setiap hambanya, termasuk untuk akh Isnan. Pada tahu ketiga kuliah Allah memberinya amanah untuk memimpin Lembaga Dakwah Kampus (LDK) setelah dia aktif di dalamnya sejak awal kuliah. Selain itu Allah juga menganugerahinya kesempatan untuk mengerjakan skripsi lebih awal. Dengan mengikuti Program Penelitian Mahasiswa yang diselenggarakan Depdiknas Jawa Tengah maka dia telah bebas skripsi. Menjadi aktivis tidak menjadikan alasan baginya untuk bermalas-malasan dalam mengikuti kuliah. Hal ini juga telah dibuktikan akh Isnan dengan selalu meraih indeks prestasi di atas tiga koma dari semester ke semester yang kemudian menjadikannya berkali-kali memperoleh beasiswa kuliah. Di tahun 2009 ini, selain mengemban amanah sebagai ketua LDK dia juga dituntut untuk menyelesaikan penelitian yang kemudian akan menggantikan sripsi. Dan semuanya itu adalah bagian dari dakwah. Allahu Akbar …!!! (Dien_cQp)

MENGGENGGAM PERADABAN


Dialektika Gerakan Mahasiswa Muslim Menyongsong Masa Depan
Oleh : Muhammad Nasri Dini*)


Mahasiswa merupakan sebuah strata sosial yang unik dalam sebuah komunitas masyarakat. Karena pada strata tersebut mahasiswa akan berhadapan dengan dua pilihan yang sangat bertolak belakang. Menjadi manusia yang sombong dan eksklusif tanpa mau tahu dengan fenomena kehidupan yang lain. Atau, dengan ‘gelar’ mahasiswa yang dimilikinya menjadikan dia memilih untuk membaur, melebur dan menyatu dengan semua golongan lain dalam tatanan masyarakat. Selanjutnya mahasiswa juga akan dihadapkan pada kenyataan lain yang menjadikan dia membuat pilihan lain dalam ber-mahasiswa. Yaitu saat Tuhan memberi hidayah Islam kepadanya (baik melalui orangtua atau lainnya), juga saat dia menjatuhkan pilihan untuk masuk ke kampus Islam (baca: STAIN Surakarta), maka statusnya akan naik menjadi ‘mahasiswa muslim’. Kata ‘muslim’ tersebut seharusnya mampu menggerakkan para mahasiswa untuk keluar dari jalan-jalan ‘mahasiswa lain’ yang jauh dan semakin menjauh dari nilai-nilai ketuhanan. Mampu membawa dari aqidah yang rusak kepada tauhid yang hanif. Mampu mentrasfer budaya-budaya hedonis kepada budaya Islam yang dapat mencerahkan kehidupan.
Mahasiswa Muslim idealnya harus mampu mempunyai gerakan yang universal. Karena mahasiswa memang sengaja disiapkan untuk menjadi the future man; generasi penerus bangsa. Maka langkah yang kemudian perlu dilakukan adalah merumuskan secara konkrit gerak langkah perjuangannya. Mahasiswa muslim harus menyadari bahwa zaman semakin melaju dan tidak akan pernah berhenti walau sejenak apalagi melangkah kembali ke belakang. Mahasiswa muslim saat ini seharusnya dapat melihat sejenak ke belakang pada apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulunya. Bukan hanya untuk bernostalgia bahkan sekedar ingin berkubang pada romantisme masalalu, namun lebih pada penilaian dan pemilahan-pemilahan. Tentunya ada banyak hal yang dapat kita teladani dari para pendahulu kita. Dan bukan tidak mungin apa yang diperjuangkan oleh mereka dapat kita pakai saat ini walau harus menggunakan bahasa yang berbeda.
Menghadapi tantangan masa depan yang semakin komplek dan tak pernah berkesudahan, ada kaidah menarik dari para pejuang Islam terdahulu yang dapat kita ambil pelajaran. Perhatikan terjemah Qs At Taubah : 100 berikut : “ Orang-orang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
Perhatikan juga pesan Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut : “ Sebaik-baik manusia adalah (orang-orang yang hidup) pada masaku ini (sahabat), kemudian sesudahnya (tabi’in), kemudian sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari Muslim).
Integralisasi Gerakan
Pada detik kemudian tulisan ini sengaja akan mengulas dan memberikan alternatif gerakan kepada mahasiswa Muslim sehingga dapat berjuang secara universal dan integral dengan tetap menitikberatkan pada nilai-nilai Rabbani (ketuhanan) dan Prophetik (kenabian) di dalamnya. Berikut beberapa diantaranya:
Pertama, gerakan keislaman. Sebagai mahasiswa Muslim tentunya pondasi yang harus dikuatkan untuk menyambut masa depan adalah dengan lebih konsen dengan gerakan Islamnya. Hendaknya gerakan mahasiswa Muslim diilhami, dimotifasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Islam dan selalu merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah as Sahihah itu.
Sebelum mengamalkan prinsip-prinsip Islam dalam gerakannya tentu setiap mahasiswa Muslim harus mendalami terlebih dahulu ajaran Islam itu dengan mengkajinya secara intensif. Karena hal ini sesuai dengan prinsip al ‘Ilmu qobla kalam wa ‘amal (pengetahuan sebelum berkata dan berbuat). Setelah Islam dikaji, tentunya mahasiswa Muslim harus membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kesehariannya dengan prinsip Islam sebagai rahmat dan bukan sebagai laknat bagi seluruh alam. Sehingga pada akhirnya mahasiswa Muslim benar-benar dapat dibedakan kualitas gerakannya dengan mahasiswa lain. Mahasiswa Muslim seyogyanya bisa bergerak di tengah, yakni ‘ tegas dalam bersikap namun tetap santun dalam bertindak’.
Kedua, gerakan keilmuan. Bukan hal istimewa jika masyarakat muslim selalu tertinggal jauh di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kemajuan IPTEK yang saat ini dimiliki oleh bangsa-bangsa Eropa dan Amerika yang bukan muslim hanya dapat diambil alih oleh masyarakat muslim jika mahasiswa muslim mau memulai mentradisikan jiwa-jiwa keilmuan itu kedalam dirinya masing-masing. Dengan semangat intelektualnya mahasiswa muslim harus membumikan gerakan membaca, penelitian ilmiah dan bentuk-bentuk tradisi keilmuan lainnya. Mahasiswa muslim ideal adalah mahasiswa yang mempunyai semboyan ‘sendiri aku baca buku, berdua aku diskusi dan bertiga aku bergerak’.
Ketiga, gerakan sosial kemasyarakatan. Salah satu tugas penting dari mahasiswa yaitu kritis terhadap realitas sosial yang ada. Realitas sosial yang seringkali cenderung tidak memihak kepada masyarakat bawah dan rakyat jelata. Mahasiswa Muslim harus teguh dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terabaikan. Kalau mungkin timbul masyarakat yang kacau balau, kocar kacir, tindas menindas, peras memeras dan masing-masing dipenuhi kesewenang-wenangan. Maka bukanlah hal yang mustahil jika mahasiswa mewujudkan adanya masyarakat yang adil, sejahtera, aman, damai dan makmur. Itulah yang harus diperjuangkan oleh mahasiswa muslim dengan gerakan sosialnya tanpa harus bertindak destruktif dan melepaskan diri dari hukum Allah ‘Azza wa Jalla yang sebenar-benarnya.
Keempat, gerakan politik kerakyatan. Dalam tataran politik, mahasiswa juga harus bisa menempatkan posisinya dengan baik. Bukan untuk berpolitik praktis namun tetap harus punya posisi strategis dalam berjuang dan bergerak bersama rakyat. Karena mahasiswa adalah bagian tak terpisahkan dari komponen rakyat dalam sebuah negara. Bidang pendidikan sebagai tempat dimana mahasiswa bernaung misalnya, seringkali terpinggirkan, termarginalkan dan dianaktirikan oleh pengambil kebijakan. Persoalan privatisasi lembaga pedidikan negeri yang dibingkai denagn undang-undang adalah salah satu bukti konkrit yang tidak bisa disangkal, bahwa rakyat kecil pada akhirnya dilarang mengenyam pendidikan karena besarnya biaya yang harus ditanggung.
Disini juga diperlukan peran strategis gerakan mahasiswa muslim. Mahasiswa yang selama ini dijadikan objek pendidikan harus diangkat dan disejajarkan derajatnya dengan subjek pendidikan lainnya. Mahasiswa muslim dituntut konsistensinya dalam bergerak dan mempengaruhi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Namun demikian ada satu hal penting yang perlu penulis sampaikan, yaitu bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan independen yang sekali-kali tidak boleh disusupi oleh kepentingan politik praktis yang seringkali pragmatis. Artinya bahwa gerakan mahasiswa HARAM hukumnya berhubungan dengan organisasi politik manapun secara hirakri. Ia sekali-sekali tak boleh terseret ke dalam kubangan proyek pragmatis atau menjadi underbow piranti politik tertentu untuk meraup keuntungan sesaat. Siapapun yang mengabdikan dirinya dalam gerakan mahasiswa muslim harus senantiasa teguh hati dan kuat jiwa untuk menggawangi idealisme ini meskipun serasa menggenggam bara di telapak tangan.
Kelima, gerakan kebudayaan. Pada tataran budaya, gerakan mahasiswa muslim dituntut untuk mentradisikan budaya kritis yang membebaskan dengan tetap terbingkai dalam nilai-nilai tauhid. Ia harus mampu menghapus budaya konsumtif, hedonis dan ekspresi-ekspersi destruktif kebanyakan mahasiswa. Dalam sisi ini ia harus memelopori penghapusan semboyan ‘as sukutu kadz dzahab’ (diam itu emas) dan menggantinya dengan semboyan ‘qulil haqqo walau kana murron’ (katakan yang benar meski pahit akibatnya). Mahasiswa muslim harus terus konsisten dalam membangun dan mengembangkan seni dan budaya yang membebaskan dan mempunyai semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Karena sesungguhnya nilai-nilai seni yang membebaskan tersebut sejalan dengan perjuangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keluarkan apa saja yang ada dalam pikiran agar dapat diketahui dan sedapat mugkin dapat berpengaruh bagi semuanya. Hal itu dapat berwujud puisi, cerpen atau karya seni lainnya.
*) Ketua Bidang Pendidikan dan Penalaran (P&P) BEM Tarbiyah 2009-2010, sempat tercatat sebagai HUMAS Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STAIN Surakarta 2008-2009.