Kamis, 01 Oktober 2009



Cerpen Sri Lestari
(staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

“Nduk…! Leren wae ning ngiyupan, ojo ngoyo!!” Suara sejuk mengalir di dendang telingaku. Aku masih berada di posisiku mengayunkan pacul di hutan nan gundul. Hutan yang bertanah keras saat kemarau. Musim ketigo kata bapak. Tanah yang tak lagi berpenghuni jati atau mahoni. Tanah itu sudah tidak menjadi tempat yang nyaman bagi binatang-binatang buruan. Yang ada tinggal tunggak-tunggak yang kian hitam karena lapuk dan ditumbuhi jamur-jamur kuping. Gerumbul ilalang bergoyang nakal dan menari saat sang bayu mendenguskan nafasnya. “Injih Pak...” sahutku melegakan bapak.
Dampak ilegal logging-istilah keren yang juga baru santer terdengar di era kini- aku dan bapak ikut-ikutan menyulap hutan yang dulu lebat itu menjadi ladang pangan. Sekali lagi bukan! Bukan niat kami untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang berstatus komoditas negara ini. Kami hanyalah masyarakat kelas teri yang tak berpunya apa-apa. Semua berawal dari niat kami membungkam rintihan perut lapar keluarga kami. Itupun atas maklumat Pak Lurah akan urgensi pelestarian linkungan hidup dengan upaya reboisasi. Ah, aku tah tahulah. Waktu itu aku tak paham. “Pak Lurah terlalu intelek!” batinku.
Sang surya sudah setinggi bayang-bayangnya dan aku masih terus bertahan. Tak ngaruh dengan lelehan keringat yang semakin mengucur. Sesekali ku usap juga buliran peluh itu dengan kaos oblongku. Biarlah orang menganggap apa. Ngomong bagaimana aku tak menggubris. Pokoknya aku harus bekerja dan terus bekerja. Aku tak berpikir neko-neko. “Tapi kamu itu perempuan, Tegar!”, celoteh Parmi teman ngajiku. Ah, biarlah! Semua orang boleh berkata apa saja. Mereka berujar demikian karena memerhatikan aku dan itulah bukti perhatian mereka padaku. “Seorang akhwat alangkah baiknya apabila memusatkan kegiatan di rumah”, tausiyah Ustadzah Aisya waktu ngisi ngaji di surau dekat sungai Kalisari di desa sebelah.
Ya Allah… Salahkah aku?! Apakah tak pantas kaum hawa sepertiku bekerja sekeras ini?! Bapak hanya miliki aku. Haruskah aku bertopangdagu di atas punggung beliau yang terbakar?! Aku tak mau menjadi beban dalam hidup dan kehidupan beliau. Tidak! Aku tak ingin seperti itu. Ku lihat lelaki tua berpostur kurus di sampingku yang sedari tadi tak berpetuah apa-apa. Khas wangi aroma tengwe. Lintingan tembakau plus cengkeh yang kata bapak adalah permennya orang sepuh agar betah bekerja. Bapak, aku bangga mempunyai pahlawan sepertimu. Engkau sungguh nerimo meski aku belum paham betul apa di balik guratan wajah tuamu tersirat asa dan harap. Doakan anakmu, pak..!
Paklik…! Suara Kang Paiman dari arah pematang tebu milik Pakde Mamat. Wates-perbatasan- ladang garapan bapak dengan beliau. Kang Paiman menurunkan sebongkok rumput yang bertengger di pundaknya ke bawah pohon pisang raja. Pohon pisang yang digunakan bapak menjemur bajunya yang basah akibat derasnya keringat siang itu. “Weleh weleh.. sekmene ambane wis rampung tha, pakde?”. “Alhamdulillah, Man. Direwangi anak wedok.” Lirik bapak padaku. Dadaku beribu lapang, senang dan haru. Bukan karena kebanggaan. Aku hanya tidak sanggup jika harus melihat punggung yang tidak berbalut baju itu semakin kelam oleh lidah matahari yang menjilat bumi. Bahkan bumi semakin panas saja karena sumber oksigen dilalap habis manusia-manusia serakah. Yang semakin hari ulah mereka semakin menyebabkan pemanasan global dewasa ini.
***
Kilatan petir yang menyambar dari jendela kamar membuyarkanku dari konsentrasi panjang lima tahun yang lalu. Hujan sore ini lebih deras dibandingkan hujan-hujan yang biasanya turun di musim hujan ini. Aku masih mematung di atas kursi ikhtiarku. Di depan monitor komputer. Jemariku masih menari teratur menguntai kata yang membentuk tulisan yang sarat makna. Udara senja pun ikut bergumul di ruangan ini. Ku seruput kembali panasnya kopi susu yang sedari tadi menemaniku di sini. Aku yang sedang menyelesaikan tugas akhir studiku di kota metropolitan ini.
Bingkai foto bapak di meja belajarku tersenyum bijak. Mungkin heran bahkan akan berdehem-dehem melihatku sendiri di ruangan ini. Ruang yang tak berilalang seperti dulu. Ruang yang penuh sawang di langit-langitnya. Satu dua sarang laba-laba di pojok usuk. Bahkan debu-debu tebal menempel alami bak cat di susuna dinding gedhek karya bapak. Teot..teot..Nyanyian katak yang tengah memadu kasih menemaniku sebagain pangganti radio. Krik-krik jangkrik yang suka cita. Semua yang tak terdengar disini adalah kenangan yang terlalu indah untuk ku lupakan.
Allahu Akbar… Ku lemaskan jemari lentikku. Ku lihat buku-buku tebal yang tersusun rapi di almari belajarku. Almari yang ku beli saat aku dapat beasiswa cum laude semester tiga lalu. Semua mengukir senyum padaku. Hukum, Tata Negara, Politik dan seabrek lainya. Yach…aku mengeliat seperti seorang lansia yang sedang senam pagi. Sedikit kaku karena sudah berjam-jam aku di sini. Aku tersenyum. Senyum yang tetap sama dengan senyumanku bersama ilalang dulu. Terima kasih, Tuhan.
Dari jendela kamar ku lihat hujan belum juga reda. Malah semakin deras. Angin berlalu kencang. Sesekali kilatan petir menyambar-nyambar bagai lampu di gedung bioskop ketika film mulai diputar. “Bapak”, aku teringat bapak. Waktu itu aku dan bapak bersama hujan dan petir seperti senja ini masih glidik di tegalan kang Paiman hingga surup. Basah kuyup baju-baju kumal kami. Dan meskipun tangan dan kaki kami masih menggigil kami tetap memanen jagung yang telah menguning itu. Aku senang meskipun jagung-jagung itu bukan milik bapak. Tapi hasil panennya akan berubah menjadi koin-koin dan lembaran lembaran uang yang akan masuk dalam celengan bambuku.
Ya Allah lindungi bapak…Di manakah beliau saat ini? Di hutan atau di sawahkah? Ups, sawah? Bukannya sepatok sawah bapak satu-satunya peninggalan simbah sudah jadi milik Suratni, adik kang Paiman yang sukses setelah merantau di Malaysia. Semua karena aku. Karena impian dan asaku. Puncaknya ketika namaku terpampang jelas di papa pengumuman balai desa 5 tahun yang lalu. Bahwa aku diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sekali lagi maafkan aku, pak…Akulah yang merubah bapak tidak lagi menjadi petani tetapi sebagai buruh kasar di hutan dan sawah. Terdalam dari itu semua, aku ingin membahagiakan bapak.
“Nduk, dadio wong pinter lan bener. Ojo keminter lan keblinger yo, ngger!! Mugo-mugo panjalukmu didijabahi.” Amin.. Terimakasih, pak… Ku ingat kata-kata simple beliau saat kucium tangan tuanya saat berangkat ke kota ini.
Kakiku melangkah mendekati tepi jendela. Ku lihat pohon mangga samping kosku terombang-ambingkan angin. Hujan makin deras menjadikan orang tak nampak lagi berlalu-lalang berebutan jalan. Hanya satu dua pengendara motor yang tertutup jas hujan dengan kecepatan di bawah standar. Mungkin mereka takut sapaan petir di penghujung magrib ini.
Tok-tok... “Mbak tegar! Mbak…” Ketukan pintu itu dari balik pintu kamarku diikuti munculnya dik Imah, mahasiswa semester satu Fakultas Kedokteran yang memanggilku. “Ada apa, dik?”, “Ada tamu, mbak”. “ Siapa?”, tanyaku penuh penasaran. “Hujan-hujan gini siapa yan?”, gumamku sambil bergegas keluar setelah kututup file skripsiku.
“Mbak Tegar, Alhamdulillah buku ‘Global Warming’ yang terbit bulan kemarin menjadi best seller di seantero Indonesia”, tutur Pak Burhan manajer penerbitan yang menangani buku-bukuku. Air mataku meleleh seketika itu. Akupun langsung tersungkur sujud, Alhamdulillah…Tiap bait doaku dan doa bapak dikabulkanNya. Kegembiraan ini tak bisa terlukiskan dengan kata.

TARBIYYAH NABAWI



Oleh : Eko Setyawan

Al Qur’an al Karim adalah kitabullah yang diturunkan salah satunya berdasarkan tempat dan kejadian yang muncul. Karena Al Qur’an adalah kitab pembangunan dan pendidikan. Al Qur’an datang dengan membawa manhaj-manhaj kehidupan dan pendidikan yang sempurna untuk membentuk jiwa, membangun umat dan menegakkan masyarakat. Kesan yang ditinggalkannya di dalam jiwa manusia tidak seperti kesan yang ditinggalkan oleh pendidikan yang berdasarkan berbagai eksperimen dan peristiwa, yang mana hati manusia begitu terbuka untuk diarahkan dan jiwanya akan tetap siap untuk sebuah pembentukan karakter dan kepribadian kearah positif. Dengan pendidikan yang selalu didasarkan pada koridor-koridor Islam akan membawa kemanfaatan masa sekarang ini dan masa yang akan datang. Sebagai contoh suksesnya tarbiyah (baca: pendidikan) yang dilaksanakan Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam dengan sekian banyak materi baik dalam membentuk materi akidah, fiqh maupun strategi perang yang diajarkan dengan praktik secara langsung dan materi-materi keislaman yang lainnya. Beliau mendidik orang-oarang mukmin yang tinggal dikota Mekah selama tiga belasa tahun meskipun risalah yang disampaikan di kota ini belum berhasil. Kemudian proses tarbiyah tidak berhenti, namun tarbiyah selalu berjalan hingga di kota Madinah. Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam dan para sahabat membentuk kelompok yang memiliki keistimewaan dalam bidang akidah, tingkah laku dan semangat hidup untuk Islam kerena mereka beranggapan bahwa sedikitnya umur harus bermanfaat untuk Islam.
Lantas apakah Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam memiliki madrasah formal atau tempat beliau menyampaikan pelajaran dan wejangan-wejangannya? Apakah kediaman al Arqam Radhiallahu ‘anhu yang beliau jadikan sebagai tempat tarbiyah bisa disebut dengan madrasah yang didirikannya untuk mendidik para sahabatnya dan orang-orang mukmin lainnya?
Pada dasarnya pemahaman yang sempit pada idiom madrasah tidak hanya terbatas pada kediaman al Arqam Radhiallahu ‘anhu, akan tetapi hakikatnya jauh lebih besar dari madrasah yang dikenal dalam sejarah. Dan pada suatu hari nanti madrasah itu akan mengeluarkan orang-orang pilihan yang memiliki peran sangat penting dalam perubahan besar dunia yang dikenal oleh umat manusia.
Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam adalah seorang da’I yang benar-benar memahami apa yang diajarkan dan diserukannya, serta seorang profil pendidik dan educator yang dianugrahi segala sifat pendidikan. Beliau berhasil menghubungkan para sahabatnya dengan Allah ‘Azza wa Jalla, baik dari segi pemahaman materi, pengetahuan dan keimanan, serta mampu menghubungkan mereka dengan Al-Qur’an yang merupakan compendium perintah untuk dilaksanakan sebagai bekal untuk hati mereka, penyuci jiwa-jiwa mereka, pengaruh tingkah laku meraka dan menjadi perantara hubungan antara mereka dan Rabb mereka. Dengan demikian pertemuan dirumah al Arqam merupakan suatu unsur pendidikan, sebagaimana beliau selalu membangunkan para sahabatnya dan orang mukmin lainnya dimalam hari untuk membaca ayat-ayat suci Al Qur’an dan melaksanakan Qiyamullail sebagai penguat ruhiyah.
Sementara itu cobaan dan ujuan serta bencana dalam keberlangsungan ini terus berlanjut. Ketika kaum musyrikin terus menerus menghujani dengan berbagai macam siksaan, Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah untuk melanjutkan proses tarbiyah dan Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam mengutus Ja’far ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu untuk turut serta bersama mereka sebagai pembimbing di perjalanan. Setelah sebagian penduduk kota Yatsrib memeluk Islam untuk melanjutkan keberlangsungan pendidikan sebagai misi menyampaikan risalah yang mulia, beliau mengutus Mus’ab ibn ‘Umair Radhiallahu ‘anhu sebagai da’i untuk mengajar dan membimbing masyarakat. Mereka membimbing mulai dari membaca Al Qur’an, melaksanakan shalat serta mengajarkan apa-apa yang diperintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam. Dengan berakhirnya periode Mekah, bukan berarti pendidikan juga berakhir. Akan tetapi terus berlanjut ke kota Madinah yang cakupan dan wilayahnya lebih besar dan luas dibandingkan Kota Mekah. Di kota ini Al Qur’an mulai menurunkan kandungan hukum syariat, hukum keluarga dan hubungan anatar masyrakat dalam seluruh bidang kehidupan. Dengan demikian, bidang garapan pendidikan semakin luas, seiring dengan maluasnya maksud dan tujuannya serta beragamnya perintah dan larangan yang dikandungnya. Sehingga Rasulullah Shalallahu ‘alaini wa sallam memilih orang-orang yang memiliki kemampuan untuk senantiasa mentransformasikan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat. Keberhasilan beliau dalam bidang pendidikan tidak tertandingi sepanjang perjalanan sejarah manusia. Keberhasilan beliau dalam mencapai tujuan yang tinggi dan luhur bersama masyarakat kota Madinah, tidak pernah dicapai oleh para filosof, pemikir dan para reformer pendidikan sekalipun. Keberhasilan yang beliau capai ini menunjukkan betapa pendidikan memiliki kemampuan untuk merubah jiwa-jiwa manusia, membawa manusia dan masyarakat pada kemuliaan dan keluhuran manusia.
Pun halnya dengan kondisi realita sekarang ini, dimana pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia memiliki kebebasan universal baik dari kalangan elite sampai kalangan menegah kebawah, dari pelosok desa hingga daerah perkotaan, pria dan wanita, dari yang muda hingga orang tuan, yang kesemuanya itu memiliki kebebasan mendapatkan pendidikan formal maupun non formal secara bebas. Pendidikan bisa dilaksanakan kapan dan dimanapun. Tidak ada yang namanya dengan penindasan dan penyiksaan dalam menempuh pendidikan Pembelajaran yang dilaksanankan dengan segala kenyamanan dan segala kelengkapan sarana dan prasarana seharusnya menghasilkan out put yang handal unmtuyk nmemenuhi tuntutran spesifikasi bidang ilmu pengetahuan yang semakin komprehensif. Dengan sekian banyah kemudahan tersebut tentunya bagi orang yang melaksanakan proses pendidikan harus diimbangi dengan keseriusan. Persaingan di dunia pendidikan semakin kompetitif. Kebutuhan dunia pendidikan dalam hal ini kebutuhan pendidik yang dibutuhkan insstansi atau lembaga pendidikan semakin berfariatif. Sebagai contih berapa banyak instansi atau lembaga pendidikan yang membutuhkan pendidik yang mempunyai kemampuan khusus seperti ahli dalam Ilmu Fiqh, Sejarah Islam, Ilmu Hadits, Tafsir dll. Ini adalah contoh kecil betapa guru yang memiliki kemampuan khusus banyak dibutuhan. Yang memiliki kompetensi demikianlah sangat dibutuhan di lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Agama ( MI, MTs dan MA). Satu materi ke-Islaman saja memiliki cakupan ilmu yang bervariasi Secara praktis tidak mungkin bagi seorang guru akan mengampu seluruh materi pelajaran tersebut. Seperti itulah sedikit gambaran tentang pendidikan, semakin banyak bidang garap maka semaikin banyak pula kebutuhan pendidik-pendidik yang profesionanl untuk mengajarkan kepada masyarakat.
Dengan adanya sekian banyak harapan yang tergambarkan di depan wajah calon-calon pendidik, maka mulai dari sekaranglah seharusnya calon-calon pendidik mempersiapkan diri tuk memasuki persaingan di dunia pendidikan. Dimana segenap daya dan upaya harus selalu di kobarkan untuk menjemput hari baru. Yang harus digaris bawahi adalah keberadaan seorang manusia harus memberi kebermanfaatan kepada orang lain. Paling tidak keberlangsungan pendidikan harus selalu terus berjalan. Paling tidak sebagai pendidik harus bisa mendidik keluarganya sendiri untuk mendapat derajat dan kemuliaan di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu a’lam
*)Penulis adalah Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta masa bakti 2009-2010

MENYIBAK PROBLEMA


Refleksi Lima Tahun Pemerintahan SBY-Kalla di Bidang Pendidikan
Oleh : Syaiful Fathurrahim
(Staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

Selama masa kampanye legislatif dan eksekutif, pendidikan selalu jadi komoditas unggulan untuk mendapatkan dukungan para pemilih. Kini setelah dewan baru terbentuk dan pimpinan pemerintahan sudah terpilih, masyarakat seharusnya mencermati komitmen wakil rakyat dan pemerintah untuk menepati janji politis mereka. Beberapa calon legislatif (waktu itu) menjanjikan pendidikan bermutu dan gratis bagi anak Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pernah menjanjikan pendidikan bermutu dan kesempatan yang adil. Lebih lanjut, SBY menjanjikan dalam lima tahun masa kepemimpinannya, dia akan menambah anggaran untuk pendidikan hingga mencapai 20% dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas 2003 . Sebenarnya, permasalahan dalam sistem pendidikan nasional begitu banyak dan kompleks. Permasalahan mendasar pendidikan perlu dikenali dan diselesaikan sebelum penambahan anggaran sampai dengan 20% untuk pendidikan dilaksanakan.
Secara mendasar, ada 3 macam permasalahan mendasar berupa kesenjangan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Permasalahan pertama terkait dengan kesenjangan dalam politik pendidikan. Upaya demokratisasi suatu bangsa harus dimulai dari pertumbuhan kesadaran warga bangsa. Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat persemaian bagi pertumbuhan kesadaran ini. Institusi pendidikan mestinya menjadi ruang bagi para calon agen perubahan untuk menumbuhkan tanggung jawab, kemandirian berpikir dan bersikap, inovasi, dan kreatifitas. Situasi ini tidak akan pernah tercapai selama pendidikan masih menjadi alat kekuasaan negara. Siswa diajar untuk patuh dan berpikir tunggal. Sekolah dan para pendidik makin dikebiri dan merasa tidak cukup berdaya untuk menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan bertanggung jawab. Para guru merasa terkungkung dalam berbagai keterbatasan sistem pendidikan karena kekuasaan negara memang masih sangat besar. Alasan-alasan klise seperti beban kurikulum yang terlalu padat, target kelulusan ujian, kesejahteraan guru yang memprihatinkan dan sebagainya masih menjadi penghambat bagi terciptanya suasana belajar yang memerdekakan anak untuk mengembangkan potensi dirinya.
Seyogyanya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun ketika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus mulai dari penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UAN, UAS dan sebagainya) sampai dengan sistem penerimaan siswa baru menunjukkan bahwa kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perijinan dan sebagainya).
Ketidak-seimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini telah mendapat sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika pemerintah masih beritikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik. Dinamika yang sehat di antara tanggung jawab dan kekuasaan negara serta peran negara dan masyarakat seharusnya bisa menentukan arah pendidikan nasional yang tepat. Praktik-praktik pendidikan seharusnya membebaskan dan memberdayakan anak-anak bangsa untuk menerima dan melaksanakan tanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan masyarakat yang demokratis. .
Masih terkait dengan politik pendidikan, kesenjangan kedua terjadi antara wacana dan praksis pendidikan. Ada cukup banyak orang pintar yang berperan dalam birokrasi sistem pendidikan nasional (baik sebagai birokrat maupun staf ahlinya). Ketika sedang berwacana, orang-orang pintar ini nampak sangat memahami dan menguasai das sollen dalam suatu proses dan sistem pendidikan. Bahkan, mereka bisa menunjukkan kekritisan terhadap das sein dari pendidikan di tanah air. Namun ketika para orang pintar ini sudah masuk dalam pusaran birokrasi dan mengeluarkan atau melaksanakan suatu kebijakan pendidikan, sepertinya pemahaman dan pengetahuan mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip pendidikan terlupakan dan tidak dijadikan landasan pemikiran. Bahkan, pemikiran-pemikiran yang sudah ditulis dalam bentuk produk hukumpun bisa diabaikan dan dilanggar. Kritik terhadap model dan administrasi evaluasi serta ujian nasional sudah sangat gencar diluncurkan bahkan dalam bentuk otokritik oleh sebagian dari birokrat pendidikan sendiri.
Di suatu seminar, seorang pejabat tinggi Diknas pernah mengkritisi evaluasi belajar tingkat nasional dan mengatakan akan menghapuskannya. Dan menurut UU Sisdiknas, evaluasi belajar sudah merupakan wewenang sekolah. Namun anehnya, ujian akhir nasional toh tetap dilaksanakan pada akhir tahun ajaran yang lalu. Memang seharusnya ada perbedaan konsep antara ujian dan evaluasi. Proyek UAN yang lalu, menurut penjelasan staf Diknas, bertujuan untuk menetapkan standarisasi tapi dalam pelaksanaannya, standarisasi atau evaluasi menjadi tidak jelas. Kesenjangan antara wacana dan praksis ini juga terlihat dalam kurikulum. Ungkapan "ganti menteri ganti kebijakan" sebetulnya lebih tepat berbunyi "ganti menteri ganti slogan." CBSA, Kurikulum Kebermaknaan, KBK maupun KTSP diluncurkan dengan nama dan slogan yang menarik dan menjanjikan perubahan dalam proses pembelajaran. Secara de facto, apa yang terjadi sesungguhnya di ruang-ruang kelas belum berubah secara signifikan. Model pengajaran satu arah masih sangat mendominasi di kebanyakan sekolah di Indonesai.
Akhirnya, kesenjangan juga terjadi seiring dengan proses globalisasi. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan siswanya masih berkutat dengan kemiskinan yang bersifat struktural, segelintir anak justru menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. Bahkan beberapa sekolah menamakan diri sebagai sekolah nasional plus dan mengadopsi kurikulum asing. Karena ketidak-mampuan negara dalam memastikan keterjangkauan pendidikan bermutu oleh semua anak bangsa, para siswa jadi tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai dengan latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Lingkungan belajar yang sangat homogen tentunya bukan lahan persemaian yang sehat bagi tumbuhnya kesadaran untuk hidup bermasyarakat dalam damai dengan warga lain yang berbeda. .
Janji untuk meningkatkan anggaran belanja negara sampai dengan 20% untuk pendidikan sebenarnya sangat superficial. Tanpa komitmen yang jelas untuk mengenali, mengurai, dan menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional, peningkatan anggaran pendidikan justru menyebabkan pemborosan uang negara untuk membiayai berbagai penyimpangan dan kesalahan dalam praktik-praktik pendidikan di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara


SANG BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
Oleh: Risma Septikasari
(Staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

Ki Hajar Dewantara (KHD) lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau berasal dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat berganti nama menjadi KHD. Semenjak itu beliau tidak lagi manggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat baik secara fisik maupun hati dan jiwanya. Perjalanan hidup beliau benar-benar diwarnai dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Boemipoetera) tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian beliau bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tcahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, beliau tergolong penulis yang handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai wartawan muda, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, beliau aktif dalam sesi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setjaboedhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pemerintah melalui Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij beliau pun ikut membentuk Komite Boemipoetera pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetera itu melancarkan kritik terhadap pemerintahan Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan tersebut beliaupun mengritik lewat tulisan berjudul als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een Voor Allen Maar Ook Allen Voor Een (satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan pertama yang dimuat dalam surat kabar De Express milik Dr Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyeleggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tiada kepentingan sedikitpun.”
Akibat tulisannya itu pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan berupa hukuman internering (hukuman buang). Yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Beliau pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangannya diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela KHD. Tetapi pihak belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang ke Kupang dan Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena disana mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran sehingga KHD berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian beliau kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah Air beliau mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya beliau pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasionalis, National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Peguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina taman siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya ordonansi tersebut akhirnya dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, beliau juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Tulisan beliau bahkan berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itu juga beliau berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) pada tahun1943 KHD duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs Mohamad Hatta dan K.H Mas Mansur. Setelah zaman kemerdekaan KHD pernah pernah menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama KHD bukan saja diabadikan sebagai tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan sebagai hari pendidikan nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI no.305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu pada tanggal 28 April 1959 beliau meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Sepeninggal beliau, oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum “Dewantara Kirti Griya” Yogyakarya untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan KHD. Dalam museum itu terdapat benda-benda dan karya-karya KHD sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup KHD sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran beliau tentang tujuan pendidikan, yaitu memajukan bangsa tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, status ekonomi dan sebagainya. Serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Ajaran beliau yang paling terkenal adalah Ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), Tut wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).