
Cerpen Sri Lestari
(staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)
“Nduk…! Leren wae ning ngiyupan, ojo ngoyo!!” Suara sejuk mengalir di dendang telingaku. Aku masih berada di posisiku mengayunkan pacul di hutan nan gundul. Hutan yang bertanah keras saat kemarau. Musim ketigo kata bapak. Tanah yang tak lagi berpenghuni jati atau mahoni. Tanah itu sudah tidak menjadi tempat yang nyaman bagi binatang-binatang buruan. Yang ada tinggal tunggak-tunggak yang kian hitam karena lapuk dan ditumbuhi jamur-jamur kuping. Gerumbul ilalang bergoyang nakal dan menari saat sang bayu mendenguskan nafasnya. “Injih Pak...” sahutku melegakan bapak.
Dampak ilegal logging-istilah keren yang juga baru santer terdengar di era kini- aku dan bapak ikut-ikutan menyulap hutan yang dulu lebat itu menjadi ladang pangan. Sekali lagi bukan! Bukan niat kami untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang berstatus komoditas negara ini. Kami hanyalah masyarakat kelas teri yang tak berpunya apa-apa. Semua berawal dari niat kami membungkam rintihan perut lapar keluarga kami. Itupun atas maklumat Pak Lurah akan urgensi pelestarian linkungan hidup dengan upaya reboisasi. Ah, aku tah tahulah. Waktu itu aku tak paham. “Pak Lurah terlalu intelek!” batinku.
Sang surya sudah setinggi bayang-bayangnya dan aku masih terus bertahan. Tak ngaruh dengan lelehan keringat yang semakin mengucur. Sesekali ku usap juga buliran peluh itu dengan kaos oblongku. Biarlah orang menganggap apa. Ngomong bagaimana aku tak menggubris. Pokoknya aku harus bekerja dan terus bekerja. Aku tak berpikir neko-neko. “Tapi kamu itu perempuan, Tegar!”, celoteh Parmi teman ngajiku. Ah, biarlah! Semua orang boleh berkata apa saja. Mereka berujar demikian karena memerhatikan aku dan itulah bukti perhatian mereka padaku. “Seorang akhwat alangkah baiknya apabila memusatkan kegiatan di rumah”, tausiyah Ustadzah Aisya waktu ngisi ngaji di surau dekat sungai Kalisari di desa sebelah.
Ya Allah… Salahkah aku?! Apakah tak pantas kaum hawa sepertiku bekerja sekeras ini?! Bapak hanya miliki aku. Haruskah aku bertopangdagu di atas punggung beliau yang terbakar?! Aku tak mau menjadi beban dalam hidup dan kehidupan beliau. Tidak! Aku tak ingin seperti itu. Ku lihat lelaki tua berpostur kurus di sampingku yang sedari tadi tak berpetuah apa-apa. Khas wangi aroma tengwe. Lintingan tembakau plus cengkeh yang kata bapak adalah permennya orang sepuh agar betah bekerja. Bapak, aku bangga mempunyai pahlawan sepertimu. Engkau sungguh nerimo meski aku belum paham betul apa di balik guratan wajah tuamu tersirat asa dan harap. Doakan anakmu, pak..!
Paklik…! Suara Kang Paiman dari arah pematang tebu milik Pakde Mamat. Wates-perbatasan- ladang garapan bapak dengan beliau. Kang Paiman menurunkan sebongkok rumput yang bertengger di pundaknya ke bawah pohon pisang raja. Pohon pisang yang digunakan bapak menjemur bajunya yang basah akibat derasnya keringat siang itu. “Weleh weleh.. sekmene ambane wis rampung tha, pakde?”. “Alhamdulillah, Man. Direwangi anak wedok.” Lirik bapak padaku. Dadaku beribu lapang, senang dan haru. Bukan karena kebanggaan. Aku hanya tidak sanggup jika harus melihat punggung yang tidak berbalut baju itu semakin kelam oleh lidah matahari yang menjilat bumi. Bahkan bumi semakin panas saja karena sumber oksigen dilalap habis manusia-manusia serakah. Yang semakin hari ulah mereka semakin menyebabkan pemanasan global dewasa ini.
***
Kilatan petir yang menyambar dari jendela kamar membuyarkanku dari konsentrasi panjang lima tahun yang lalu. Hujan sore ini lebih deras dibandingkan hujan-hujan yang biasanya turun di musim hujan ini. Aku masih mematung di atas kursi ikhtiarku. Di depan monitor komputer. Jemariku masih menari teratur menguntai kata yang membentuk tulisan yang sarat makna. Udara senja pun ikut bergumul di ruangan ini. Ku seruput kembali panasnya kopi susu yang sedari tadi menemaniku di sini. Aku yang sedang menyelesaikan tugas akhir studiku di kota metropolitan ini.
Bingkai foto bapak di meja belajarku tersenyum bijak. Mungkin heran bahkan akan berdehem-dehem melihatku sendiri di ruangan ini. Ruang yang tak berilalang seperti dulu. Ruang yang penuh sawang di langit-langitnya. Satu dua sarang laba-laba di pojok usuk. Bahkan debu-debu tebal menempel alami bak cat di susuna dinding gedhek karya bapak. Teot..teot..Nyanyian katak yang tengah memadu kasih menemaniku sebagain pangganti radio. Krik-krik jangkrik yang suka cita. Semua yang tak terdengar disini adalah kenangan yang terlalu indah untuk ku lupakan.
Allahu Akbar… Ku lemaskan jemari lentikku. Ku lihat buku-buku tebal yang tersusun rapi di almari belajarku. Almari yang ku beli saat aku dapat beasiswa cum laude semester tiga lalu. Semua mengukir senyum padaku. Hukum, Tata Negara, Politik dan seabrek lainya. Yach…aku mengeliat seperti seorang lansia yang sedang senam pagi. Sedikit kaku karena sudah berjam-jam aku di sini. Aku tersenyum. Senyum yang tetap sama dengan senyumanku bersama ilalang dulu. Terima kasih, Tuhan.
Dari jendela kamar ku lihat hujan belum juga reda. Malah semakin deras. Angin berlalu kencang. Sesekali kilatan petir menyambar-nyambar bagai lampu di gedung bioskop ketika film mulai diputar. “Bapak”, aku teringat bapak. Waktu itu aku dan bapak bersama hujan dan petir seperti senja ini masih glidik di tegalan kang Paiman hingga surup. Basah kuyup baju-baju kumal kami. Dan meskipun tangan dan kaki kami masih menggigil kami tetap memanen jagung yang telah menguning itu. Aku senang meskipun jagung-jagung itu bukan milik bapak. Tapi hasil panennya akan berubah menjadi koin-koin dan lembaran lembaran uang yang akan masuk dalam celengan bambuku.
Ya Allah lindungi bapak…Di manakah beliau saat ini? Di hutan atau di sawahkah? Ups, sawah? Bukannya sepatok sawah bapak satu-satunya peninggalan simbah sudah jadi milik Suratni, adik kang Paiman yang sukses setelah merantau di Malaysia. Semua karena aku. Karena impian dan asaku. Puncaknya ketika namaku terpampang jelas di papa pengumuman balai desa 5 tahun yang lalu. Bahwa aku diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sekali lagi maafkan aku, pak…Akulah yang merubah bapak tidak lagi menjadi petani tetapi sebagai buruh kasar di hutan dan sawah. Terdalam dari itu semua, aku ingin membahagiakan bapak.
“Nduk, dadio wong pinter lan bener. Ojo keminter lan keblinger yo, ngger!! Mugo-mugo panjalukmu didijabahi.” Amin.. Terimakasih, pak… Ku ingat kata-kata simple beliau saat kucium tangan tuanya saat berangkat ke kota ini.
Kakiku melangkah mendekati tepi jendela. Ku lihat pohon mangga samping kosku terombang-ambingkan angin. Hujan makin deras menjadikan orang tak nampak lagi berlalu-lalang berebutan jalan. Hanya satu dua pengendara motor yang tertutup jas hujan dengan kecepatan di bawah standar. Mungkin mereka takut sapaan petir di penghujung magrib ini.
Tok-tok... “Mbak tegar! Mbak…” Ketukan pintu itu dari balik pintu kamarku diikuti munculnya dik Imah, mahasiswa semester satu Fakultas Kedokteran yang memanggilku. “Ada apa, dik?”, “Ada tamu, mbak”. “ Siapa?”, tanyaku penuh penasaran. “Hujan-hujan gini siapa yan?”, gumamku sambil bergegas keluar setelah kututup file skripsiku.
“Mbak Tegar, Alhamdulillah buku ‘Global Warming’ yang terbit bulan kemarin menjadi best seller di seantero Indonesia”, tutur Pak Burhan manajer penerbitan yang menangani buku-bukuku. Air mataku meleleh seketika itu. Akupun langsung tersungkur sujud, Alhamdulillah…Tiap bait doaku dan doa bapak dikabulkanNya. Kegembiraan ini tak bisa terlukiskan dengan kata.