Kamis, 01 Oktober 2009

Ki Hajar Dewantara


SANG BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
Oleh: Risma Septikasari
(Staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)

Ki Hajar Dewantara (KHD) lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau berasal dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat berganti nama menjadi KHD. Semenjak itu beliau tidak lagi manggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat baik secara fisik maupun hati dan jiwanya. Perjalanan hidup beliau benar-benar diwarnai dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Boemipoetera) tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian beliau bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tcahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, beliau tergolong penulis yang handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai wartawan muda, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, beliau aktif dalam sesi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setjaboedhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pemerintah melalui Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij beliau pun ikut membentuk Komite Boemipoetera pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetera itu melancarkan kritik terhadap pemerintahan Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan tersebut beliaupun mengritik lewat tulisan berjudul als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een Voor Allen Maar Ook Allen Voor Een (satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan pertama yang dimuat dalam surat kabar De Express milik Dr Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyeleggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tiada kepentingan sedikitpun.”
Akibat tulisannya itu pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan berupa hukuman internering (hukuman buang). Yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Beliau pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangannya diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela KHD. Tetapi pihak belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang ke Kupang dan Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena disana mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran sehingga KHD berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian beliau kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah Air beliau mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya beliau pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasionalis, National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Peguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina taman siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya ordonansi tersebut akhirnya dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, beliau juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Tulisan beliau bahkan berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itu juga beliau berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) pada tahun1943 KHD duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs Mohamad Hatta dan K.H Mas Mansur. Setelah zaman kemerdekaan KHD pernah pernah menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama KHD bukan saja diabadikan sebagai tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan sebagai hari pendidikan nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI no.305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu pada tanggal 28 April 1959 beliau meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Sepeninggal beliau, oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum “Dewantara Kirti Griya” Yogyakarya untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan KHD. Dalam museum itu terdapat benda-benda dan karya-karya KHD sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup KHD sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran beliau tentang tujuan pendidikan, yaitu memajukan bangsa tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, status ekonomi dan sebagainya. Serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Ajaran beliau yang paling terkenal adalah Ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), Tut wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar