
Refleksi Lima Tahun Pemerintahan SBY-Kalla di Bidang Pendidikan
Oleh : Syaiful Fathurrahim
(Staff Pendidikan dan Penalaran -P&P- BEM Tarbiyah 2009/2010)
Selama masa kampanye legislatif dan eksekutif, pendidikan selalu jadi komoditas unggulan untuk mendapatkan dukungan para pemilih. Kini setelah dewan baru terbentuk dan pimpinan pemerintahan sudah terpilih, masyarakat seharusnya mencermati komitmen wakil rakyat dan pemerintah untuk menepati janji politis mereka. Beberapa calon legislatif (waktu itu) menjanjikan pendidikan bermutu dan gratis bagi anak Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pernah menjanjikan pendidikan bermutu dan kesempatan yang adil. Lebih lanjut, SBY menjanjikan dalam lima tahun masa kepemimpinannya, dia akan menambah anggaran untuk pendidikan hingga mencapai 20% dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas 2003 . Sebenarnya, permasalahan dalam sistem pendidikan nasional begitu banyak dan kompleks. Permasalahan mendasar pendidikan perlu dikenali dan diselesaikan sebelum penambahan anggaran sampai dengan 20% untuk pendidikan dilaksanakan.
Secara mendasar, ada 3 macam permasalahan mendasar berupa kesenjangan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Permasalahan pertama terkait dengan kesenjangan dalam politik pendidikan. Upaya demokratisasi suatu bangsa harus dimulai dari pertumbuhan kesadaran warga bangsa. Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat persemaian bagi pertumbuhan kesadaran ini. Institusi pendidikan mestinya menjadi ruang bagi para calon agen perubahan untuk menumbuhkan tanggung jawab, kemandirian berpikir dan bersikap, inovasi, dan kreatifitas. Situasi ini tidak akan pernah tercapai selama pendidikan masih menjadi alat kekuasaan negara. Siswa diajar untuk patuh dan berpikir tunggal. Sekolah dan para pendidik makin dikebiri dan merasa tidak cukup berdaya untuk menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan bertanggung jawab. Para guru merasa terkungkung dalam berbagai keterbatasan sistem pendidikan karena kekuasaan negara memang masih sangat besar. Alasan-alasan klise seperti beban kurikulum yang terlalu padat, target kelulusan ujian, kesejahteraan guru yang memprihatinkan dan sebagainya masih menjadi penghambat bagi terciptanya suasana belajar yang memerdekakan anak untuk mengembangkan potensi dirinya.
Seyogyanya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun ketika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus mulai dari penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UAN, UAS dan sebagainya) sampai dengan sistem penerimaan siswa baru menunjukkan bahwa kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perijinan dan sebagainya).
Ketidak-seimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini telah mendapat sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika pemerintah masih beritikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik. Dinamika yang sehat di antara tanggung jawab dan kekuasaan negara serta peran negara dan masyarakat seharusnya bisa menentukan arah pendidikan nasional yang tepat. Praktik-praktik pendidikan seharusnya membebaskan dan memberdayakan anak-anak bangsa untuk menerima dan melaksanakan tanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan masyarakat yang demokratis. .
Masih terkait dengan politik pendidikan, kesenjangan kedua terjadi antara wacana dan praksis pendidikan. Ada cukup banyak orang pintar yang berperan dalam birokrasi sistem pendidikan nasional (baik sebagai birokrat maupun staf ahlinya). Ketika sedang berwacana, orang-orang pintar ini nampak sangat memahami dan menguasai das sollen dalam suatu proses dan sistem pendidikan. Bahkan, mereka bisa menunjukkan kekritisan terhadap das sein dari pendidikan di tanah air. Namun ketika para orang pintar ini sudah masuk dalam pusaran birokrasi dan mengeluarkan atau melaksanakan suatu kebijakan pendidikan, sepertinya pemahaman dan pengetahuan mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip pendidikan terlupakan dan tidak dijadikan landasan pemikiran. Bahkan, pemikiran-pemikiran yang sudah ditulis dalam bentuk produk hukumpun bisa diabaikan dan dilanggar. Kritik terhadap model dan administrasi evaluasi serta ujian nasional sudah sangat gencar diluncurkan bahkan dalam bentuk otokritik oleh sebagian dari birokrat pendidikan sendiri.
Di suatu seminar, seorang pejabat tinggi Diknas pernah mengkritisi evaluasi belajar tingkat nasional dan mengatakan akan menghapuskannya. Dan menurut UU Sisdiknas, evaluasi belajar sudah merupakan wewenang sekolah. Namun anehnya, ujian akhir nasional toh tetap dilaksanakan pada akhir tahun ajaran yang lalu. Memang seharusnya ada perbedaan konsep antara ujian dan evaluasi. Proyek UAN yang lalu, menurut penjelasan staf Diknas, bertujuan untuk menetapkan standarisasi tapi dalam pelaksanaannya, standarisasi atau evaluasi menjadi tidak jelas. Kesenjangan antara wacana dan praksis ini juga terlihat dalam kurikulum. Ungkapan "ganti menteri ganti kebijakan" sebetulnya lebih tepat berbunyi "ganti menteri ganti slogan." CBSA, Kurikulum Kebermaknaan, KBK maupun KTSP diluncurkan dengan nama dan slogan yang menarik dan menjanjikan perubahan dalam proses pembelajaran. Secara de facto, apa yang terjadi sesungguhnya di ruang-ruang kelas belum berubah secara signifikan. Model pengajaran satu arah masih sangat mendominasi di kebanyakan sekolah di Indonesai.
Akhirnya, kesenjangan juga terjadi seiring dengan proses globalisasi. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan siswanya masih berkutat dengan kemiskinan yang bersifat struktural, segelintir anak justru menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. Bahkan beberapa sekolah menamakan diri sebagai sekolah nasional plus dan mengadopsi kurikulum asing. Karena ketidak-mampuan negara dalam memastikan keterjangkauan pendidikan bermutu oleh semua anak bangsa, para siswa jadi tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai dengan latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Lingkungan belajar yang sangat homogen tentunya bukan lahan persemaian yang sehat bagi tumbuhnya kesadaran untuk hidup bermasyarakat dalam damai dengan warga lain yang berbeda. .
Janji untuk meningkatkan anggaran belanja negara sampai dengan 20% untuk pendidikan sebenarnya sangat superficial. Tanpa komitmen yang jelas untuk mengenali, mengurai, dan menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional, peningkatan anggaran pendidikan justru menyebabkan pemborosan uang negara untuk membiayai berbagai penyimpangan dan kesalahan dalam praktik-praktik pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar