Oleh: Muhammad Nasri Dini
Pendidikan bagi manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, suatu kelompok manusia tidak dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka masing-masing. Untuk memajukan kehidupan manusia itulah, maka pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teorikal dan praktikal sepanjang waktu sesuai dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, sekolah dengan berbagai macam ragamnya merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kita. Pada usia-usia tertentu bahkan para orang tua sibuk memaksa anak-anaknya untuk belajar di sekolah-sekolah itu sehingga di kemudian hari dia dapat meraih prestasi tertentu sesuai dengan keinginan orangtua mereka (bukan atas kemauan anak). Mengingat peran sekolah yang tidak kecil dalam membentuk karakter dan kepribadian anak, sudah sewajarnya jika sekolah seharusnya mampu dan mau menyajikan hal-hal yang menyenangkan bagi anak sebagai peserta didik. Sekolah yang baik bukanlah sekolah yang dipenuhi dengan tugas-tugas dan pekerjaan rumah yang menumpuk. Namun sekolah juga harus memperhatikan aspek-aspek lain yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, seperti bermain misalnya. Karena pada usia anak-anak merupakan usia yang sangat akrab dengan berbagai macam permainan.
Dan pada kenyataannya tidak akan kita dapati sekolah yang menyajikan berbagai permainan yang dapat menyenangkan sekaligus dapat digunakan sebagai media belajar. Permainan hanya disajikan oleh lembaga pendidikan bernama Taman Kanak-kanak, Play Group atau yang semacamnya yang hanya akan bertahan maksimal dua tahun. Sedangkan sekolah dari tingkat dasar dan menengah yang merupakan program pemerintah dengan nama wajib belajar 9 tahun tidak akan kita dapati materi yang disebut bermain. Disana hanya akan kita dapati proses belajar mengajar berupa membaca, menulis, berhitung dan berbagai macam hal yang disebut ilmu pengetahuan. Dan hal inilah yang akan membuat anak merasa bosan dengan apa yang disampaikan oleh para guru di sekolah mereka.
Semua yang disebut belajar hanya akan dimaknai oleh anak sebagai kewajiban yang membebankan. Selain materi yang disampaikan membosankan, guru sebagai pihak yang berperan penting dalam kegiatan belajar mengajar juga menyampaikan materi dengan monoton. Ditambah lagi guru pasti akan memarahi siswanya yang kedapatan bermain saat jam pelajaran berlangsung. Sekolah memang pihak yang dianggap paling berwenang untuk melarang anak-anak bermain bahkan saat anak tersebut sudah sampai di rumahnya. Kalimat sederhananya adalah “Bermain adalah musuh belajar”. Lalu bagaimana sekolah dan belajar dapat berjalan bersama beriringan dengan bermain?
Marilah coba kita renungkan beberapa komentar anak tentang sekolah mereka; Budi (11 tahun) mengatakan, “Kita menghabiskan waktu 3 tahun di sekolah lanjutan, berpura-pura jadi anak yang baik, tetapi belajar, tak usah ya..,lebih baik kita bercanda dan bermain.” Sedangkan Lilo (11 tahun) mengatakan, “Nggak mau mendengarkan guru marah-marah, tetapi membayangkan diri sedang bermain-main.”
Dua komentar di atas merupakan gambaran umum betapa anak sangat tidak menyukai hal bernama sekolah, belajar atau yang semacam itu. Dan mereka jauh lebih menyukai hal-hal yang menyenangkan seperti bermain dan bercanda yang tidak disajikan oleh guru di sekolah-sekolah. Untuk mengubah paradigma bahwa sekolah dan guru adalah hal yang membosankan dan menggantinya dengan pandangan bahwa sekolah sama senangnya dengan bermain, berikut akan kita diskusikan kedua hal tersebut sehingga pada akhirnya tidak terus menerus terjadi pertentangan antara keduanya.
Bermain baik dilakukan dengan atau tanpa alat merupakan kegiatan yang dapat memberikan kesenangan, menambah daya ingat dan mengembangkan imajinasi anak. Menurut Hetherington & Parke (1979) permainan adalah suatu bentuk aktivitas yang menyenangakan yang dilakukan semata-mata untuk aktivitas itu sendiri dan bukan karena ingin memperoleh suatu yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Sedangkan menurut Jeromt Burner dan Brian Suttan, bermain merupakan aktivitas yang menghasilkan atmosfir santai dan menyenangkan sehingga anak mudah belajar berbagai cara untuk mengatasi masalah ketika bermain. Mengenai permainan ini para ahli menyatakan beberapa teori, diantaranya adalah:
1. Teori Penglepasan (Herbert Spenser) : permainan dapat melepaskan tenaga berlebih pada anak.
2. Teori Rekreasi (Schaller dan Lazarus): permainan dapat membuat anak menikmati rekreasi atau istirahat.
3. Teori Atavistis (Stanley Hall): yaitu permainan dengan meniru atau mengikuti nenek moyang (berburu, pistol-pistolan dll)
4. Teori Biologis (Karl Gross): yaitu tugas biologis, seperti bermain untuk menguasai gerakan atau mengenal dunia luar dengan idenya.
Dalam konteks belajar di sekolah, teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tersebut sangat mungkin diaplikasikan oleh guru. Atau guru setidaknya dapat mengambil pelajaran dari apa yang disampaikan Schaller dan Lazarus yang menyatakan bahwa bermain adalah rekreasi bagi anak. Sehingga guru akan berpikir dua kali saat akan memarahi anak yang bermain saat dia sedang sibuk menerangkan pelajaran. Tentunya guru juga dapat memposisikan dirinya seperti halnya para siswanya. Saat guru tersebut masih bersekolah dulu dia pasti juga merasa jenuh dan bosan dengan apa yang disampaikan gurunya. Dan pada akhirnya bermainlah(dengan permainan apapun itu) yang menjadikan siswa dapat sejenak beristirahat dari kebosanan yang dihadirkan guru. Atau bisa juga guru memang sengaja menghadirkan permainan-permainan tertentu yang mungkin disesuaikan dengan materi yang diajarkan pada jam pelajaran tersebut sehingga siswa tidak jenuh dengan apa yang disampaikan guru.
Permainan ternyata juga mempunyai fungsi yang positif terhadap anak, dan diantara fungsi permainan tersebut adalah; Pertama, Mengembangkan dan meningkatkan kognitif anak. Antara lain dengan menjelajahi lingkungan, mempelajari objek sekitar, belajar memecahkan masalah dan mengembangkan kompetensi dan ketrampilan dengan cara yang menyenangkan. Kedua, Mengembangkan dan meningkatkan sosial anak. Anak dapat memahami orang lain. Dalam peran-peran tertentu pada sebuah permainan anak dapat memahami peran yang akan dimainkan tersebut. Ketiga, Mengembangkan dan meningkatkan emosional anak. Anak dapat memecahkan masalah-masalah emosional, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin, anak juga dapat melepaskan energi fisik yang belebihan dan membebaskan perasaan yang terpendam.
Guru seharusnya dapat menjalankan fungsi-fungsi bermain tersebut dalam proses belajar mengajar di sekolah. Selain mengajarkan materi-materi pelajaran, guru juga mengajak para siswanya bermain sambil belajar. Guru bisa lebih menonjolkan aktivitas bermainnya namun tetap menekankan proses pembelajaran di dalamnya. Parten mengungkapkan ada beberapa jenis permainan yang dapat dilakukan oleh anak, yaitu:
Unocupied: yaitu permainan yang memperlihatkan dan melihat sesuatu yang menarik perhatian dan melakukan gerakan bebas dan tidak terkontrol.
Solitary: yaitu permainan yang terdiri dari sekelompok anak yang bermain sendiri-sendiri dengan berbagai alat permainan masing-masing tanpa adanya kontak antara satu dengan yang lainnya.
Onlooker : yaitu anak yang memperhatikan anak lain bermain, bertanya-tanya tetapi tidak ikut terlibat dalam permainan tersebut.
Pararel : beberapa anak bermain dengan alat yang sama, tetapi tidak terjadi kontak atau tukar menukar mainan.
Assosiative: yaitu anak bermain bersama-sama dengan disertai pinjam-meminjam alat permainan yang digunakan.
Cooperative: yaitu permainan secara berkelompok, dimana disana ada yang berperan sebagai pemimpin dan anggota.
Sedangkan Seifert dan Hoffnung menambahkan beberapa jenis permainan lain sebagai berikut:
1. Fungsional Play: yaitu permainan dengan menekankan gerak fisik, seperti berlari-lari misalnya.
2. Konstuktif: yaitu permainan dengan membangun/membuat sesuatu dari sesuatu yang sudah ada.
3. Dramatik: yaitu permainan simbol atau berpura-pura memerankan seseorang tertentu.
4. Permainan dengan aturan: yaitu permainan yang menekankan kompetisi.
Setelah masa liburan sekolah, pasti kebanyakan anak akan berpikir bahwa waktu bermain mereka akan berkurang setelah masuk nanti. Sebagai seorang guru, pikiran tersebut harus kita singkirkan dari kepala anak(siswa). Guru harus menanamkan pada dirinya sendiri bahwa bermain bagi anak mempunyai banyak manfaat baik pada aspek emosional maupun intelektual. Selain itu bermain juga sangat menunjang perkembangan komunikasi anak dengan pihak lain. Sekolah memang pada akhirnya harus berperan sebagai arena bermain bagi siswanya sehingga menyiapkan berbagai permainan yang menunjang proses belajar mengajar dan dapat membantu para siswa di sekolah tersebut mewujudkan potensi masing-masing.
Akhirnya, beberapa hal yang harus disiapkan dan diperhatikan oleh setiap subyek pendidikan agar sekolah benar-benar dapat menjadi tempat belajar sekaligus arena bermain yang menyenangkan bagi anak adalah:
Jangan sering membereskan mainan anak, karena dapat menghambat riset dalam belajar.
Dibentuknya kelompok-kelompok bermain di sekolah.
Berbagi pengalaman bermain yang meransang atau mendorong.
Adanya guru yang terlatih.
Kedekatan antara guru dan siswa.
Sekolah yang mengorganisir berbagai macam permainan.
Suasana pembelajaran yang menyenangkan, hangat dan penuh kasih sayang.
*) Ketua Departemen Pendidikan dan Penalaran (P&P) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tarbiyah STAIN Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar