Minggu, 09 Agustus 2009

GURU DALAM KACA MATA PUBLIK



Oleh: Hanief Prastiwi

Pendidikan merupakan tangga meraih kemajuan serta penggerak peradaban. Maju tidaknya peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari proses pendidikan yang dibangun dan berkembang di dalamnya. Belum lengkap rasanya ketika membahas masalah pendidikan namun tidak membicarakan mengenai guru, karena figur yang satu ini sangat menentukan maju mundurnya dunia pendidikan. Bahkan ketika Hirosima dan Nagasaki dibom atom, yang lebih dahulu ditanyakan oleh Kaisar Jepang “Masih ada berapa jumlah guru?”. Hal itu menandakan bahwa guru mempunyai peranan yang besar dalam mengukir serta menentukan merah hitam suatu negara.

Pak guru, bu guru, ustadz, pendidik atau sebutan guru lainnya, di mata masyarakat dipandang sebagai figur yang “serba mumpuni”, sedang dalam filsafat Jawa guru dikenal sebagai sosok yang “digugu lan ditiru”. Apalagi di mata siswa, guru dipandang sebagai orang yang serba bisa, selalu dihormati, dan perkataannya selalu dianggap benar. Selain tugas utamanya mengajar, tak sedikit guru yang kemudian menjadi pengurus RT/RW, organisasi pemuda, organisasi masyarakat dan sejenisnya.

Ketika kita menengok sejarah dahulu, kedudukan dan profesi yang sangat disegani, dibanggakan, dan dimuliakan. Dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan di masyarakat maupun yang bersifat kenegaraan, guru selalu ditempatkan pada posisi depan. Bahkan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia , guru berada pada barisan terdepan. Seperti yang kita ketahui bahwa Panglima besar Jendral Sudirman, Ki Hajar Dewantoro, dan Imam Bonjol adalah seorang guru yang disegani.

Pada kondisi apapun, guru tetap memegang peranan penting dalam proses pendidikan. E. Mulyasa (2008) dalam buku Menjadi Guru Profesional menyatakan “Eksistensi guru tetap penting, karena peran guru tidak dapat digantikan dengan teknologi. Bagaimanapun canggihnya komputer, tetap saja bodoh dibandingkan guru, karena komputer tidak dapat diteladani, bahkan bisa menyesatkan jika penggunaannya tanpa kontrol. Fungsi kontrol ini pulalah yang memposisikan figur guru tetap penting”.

Dalam proses pendidikan, guru tidak sekedar memindahkan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya (transfer of knowledge) akan tetapi juga menanamkan nilai (value), membangun karakter (character builbing), serta mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didiknya. Guru merupakan ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan serta mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien. Pada aspek sosial masyarakat, guru berfungsi sebagai penanam nilai-nilai budaya yang tercipta dalam masyarakat.

Oleh karena itu, peranan guru sangatlah mulia dan komplek. Akan tetapi, mengapa saat ini kondisi dan profesi guru mulai tidak dianggap sebagai hal yang prestise dan membanggakan oleh sebagian masyarakat bahkan ada yang menganggap guru menempati posisi yang kecil?

Guru, Antara Idealitas dengan Realitas

Seperti yang telah lazim diyakini bahwa pendidikan penopang kemajuan suatu bangsa. Rusaknya pendidikan, akan menjadi cermin rusaknya peradaban suatu bangsa. Begitulah yang terjadi di Indonesia saat ini seperti halnya yang disampaikan dalam buku “Pendidikan Rusak Rusakan”. Mirip “puisi tak terkuburkan” Garin Nugroho, dunia pendidikan kita telah melakonkan kepedihan yanghampir tak tersuarakan, akan tetapi desis bisikan kepedihan ini harus berbunyi juga.

Sejenak kita merenungkan bagaimana kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Dunia pendidikan kita masih jauh panggang dari apai. Dunia pendidikan yang seharusnya dapat diproses dan dijalankan dengan baik, masih belum menjadi kenyataan. Guru yang merupakan komponen penting dalam pendidikan, tentunya ikut menentukan maju mundurnya pendidikan ini. Kita lihat realita saat ini, tak sedikit orang yang menjadikan guru sebagai profesi jalan pintas yang penuh keterpaksaan, sehingga dalam menjalankan tugasnya pun hanya didasari dorongan perut saja.

Tak hanya itu saja, slogan “guru kencing berdiri murid kencing berlari” yang bermakna “guru cerminan bagi anak didik” ini pun sedikit demi sedikit mulai diabaikan. Padahal, kalimat itu telah memberikan pesan moral bagi guru agar senantiasa bertindak dengan penuh pertimbangan serta bisa memberikan keteladanan yang baik bagi anak didiknya. Maka tidak mengherankan, ketika guru menanamkan nilai atau memberi contoh yang tidak baik, maka murid akan berperilaku lebih buruk dari apa yang dilakukan gurunya.

Sebagai contoh konkrit dari pernyataan tersebut misalnya perbutan guru yang membocorkan jawaban Ujian Nasional (UN). Secara sepintas memang bertujuan untuk menolong kelulusan anak didik, akan tetapi dampak yang ditimbulkan kemudian akan jauh lebih besar. Secara langsung maupun tidak, guru telah menanamkan sikap tidak ketidakjujuran, menimbulkan ketidakpercayaan kepada diri murid sendiri maupun kepada gurunya. Penanaman benih-benih ketidakjujuran ini pula yang kemudian melahirkan generasi yang bermental korupsi.

Guru yang seharusnya menjauhkan serta membersihkan mental koruptor dari dalam jiwa anak didik tetapi justru sebaliknya. Guru hendaknya mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang tangguh bagi bangsa ini. Ia juga mengajari anak agar memiliki keberanian, Eko Prasetyo (2006) mengatakan “Guru ajari kami keberanian. Jangan kau jadikan anak-anak kami menjadi penakut. Takut terhadap penderitaan, takut menentang penindasan, dan takut berbuat kebenaran. Jangan kau jadikan muridmu sosok yang kerdil dalam pemikiran. Kemampuannya hanya meniru, menjiplak, dan menyontek apa yang dilakukan di luar sana ”.

Namun secara umum, tidak semua guru di negri ini mengajarkan perilaku buruk kepada anak didiknya. Masih kita temukan guru-guru satria yang bermental mulia, yang berani menanggung resiko demi kejujuran, kemuliaan, serta menjunjung tinggi profesionalisme guru.

Karakteristik Guru

E. Mulyasa menyatakan ada tiga sifat dan karakteristik yang harus dimilki guru yakni kreatif, profesional serta menyenangkan. Sedangkan menurut Heger & Kaye, karakteristik keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologi.

Guru yang fleksibel umumnya ditandai dengan keterbukaan berfikir dan beradaptasi. Ia selalu berfikir kritis dan menggunakan akal sehat yang dipusatkan dalam pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu. Guru yang terbuka biasanya ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern, misalnya siswa, teman sejawat dan lingkungan tempat kerja. Ia juga memiliki empati dan mau menerima kritik dengan ikhlas.

Itulah sebagian yang harus dilakukan guru sekarang ini. Guru harus bangun dari tidur nyenyaknya yang selalu membanggakan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru harus bangkit untuk menciptakan serta mempertahankan citra profesionalisme yang mapan di mata masyarakat. Pepatah mengatakan: “Kegemilangan masa depan tergantung apa yang diperbuat hari ini”. Secara implisit dapat dikonotasikan bahwa keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di masa depan sangat tergantung pada stake holder pendidikan yang meliputi: pendidik, peserta didik, masyarakat, institusi, sarana dan prasarana, serta pengelolaan.

Sebagai makhluk individu, guru diharapkan mengembangkan self existence yang bermuara pada peningkatan kompetensi personal, misal dengan kegiatan ilmiah, penemuan metode dan media pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. Sebagai makhluk sosial, guru diharapkan mengelola interaksi multi arah baik dalam proses belajar mengajar maupun pergaulan di masyarakat. Agai makhluk susila, ia mampu menginternalisasikan nilai yang terkandung dalam pikiran, gagasan yang terbukti baik dan bermanfaat serta diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk beragama, menempatkan guru sebagai pribadi yang harus beriman dan bertakwa pada Sang Pencipta.

Aku Seorang Guru!

Dunia pendidikan merupakan dunia yang penuh dengan peluang dan tantangan. Jika Anda memang guru atau ingin menjadi guru, maka bekerjalah sebagai seorang gur. Tanamkan kuat pada jiwa kita bahwa “Aku Seorang Guru!!” . Guru adalah pekerjaan berat tetapi menyenangkan. Bahkan sebagian orang yang merasa guru bukan hanya sekedar bekerja, namun juga bercinta, yakni bekerja dengan cinta.

Ustadz Sayyid Qutb mengatakan “Barang siapa yang hidup untuk dirinya sendiri, maka ia akan hidup sebagai manusia kecil dan mati sebagai manusia kecil. Barangsiapa yang hidup untukorang lain, maka ia akan hidup sebagai manusia besar, dan tidak akan pernah mati selamanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar